Saturday, December 7, 2019

RADIOACTIVE SERIES #2: INSIDEN GOIANIA, SANG “CHERNOBYL” YANG LAIN


Jika membahas kecelakaan nuklir, pasti yang terlintas di benak kalian adalah kasus Chernobyl dan Fukushima. Kedua pembangkit listrik tenaga nuklir itu mengalami kecelakaan yang menyebabkan penduduk di sekitarnya terinfeksi radiasi nuklir yang mematikan. Namun pada September 1987, penduduk kota kecil bernama Goiânia di Brazil dihantui insiden mengerikan, dimana lebih dari 100 ribu penduduk mengaku sakit akibat radiasi. Bagaimana bisa sebuah bencana nuklir bisa menimpa warga sipil di sebuah kota yang jauh dari pembangkit listrik tenaga nuklir?

Jawabannya, adalah rumah sakit. Setiap rumah sakit, kita sadari atau tidak, pasti memiliki bahan radioaktif yang digunakan untuk kemoterapi ataupun CT-scan.

Jika bahan berbahaya itu sampai jatuh ke tangan yang salah, akibatnya bisa amat berbahaya.

Dear readers, inilah Dark Case kali ini.

Kota Goiânia di Brazil, tak ada yang menyangka di kota padat penduduk ini 
terjadi salah satu musibah radioaktif terparah di dunia

Pada malam hari, 13 September 1987, dua orang pria mengendap-endap ke sebuah bekas bangunan rumah sakit yang sudah hampir rubuh. Bangunan tua itu dulunya adalah Instituto Goiano de Radioterapia (IGR), sebuah rumah sakit swasta yang mengkhususkan diri bagi radioterapi. Beberapa tahun sebelumnya, pada 1985, rumah sakit tersebut pindah ke lokasi baru, meninggalkan gedung terbengkalai yang kini hanya tersisa reruntuhannya saja.

Kedua pria itu adalah Roberto dos Santos Alves dan Wagner Mota Pereira, dua “pemulung” lokal yang berniat mencari barang rongsokan yang mungkin bisa mereka jual. Mereka tiba di sebuah ruangan terapi dan melihat sebuah kapsul logam misterius. Merasa tertarik karena belum pernah melihatnya, terlebih lagi karena terbuat dari logam yang bisa mereka jual, akhirnya mereka mengambilnya.

Mereka sama sekali tak menyadari bahwa mereka tengah mengambil sebuah kapsul berisi cesium klorida, sebuah bahan radioaktif yang amat berbahaya. Kapsul itu memancarkan radiasi sebanyak 4,56 gray per jam, dimana dosis 2 gray saja cukup untuk menimbulkan bahaya pada tubuh jika terpapar beberapa jam.

Saat itu mereka masih aman, sebab cesium tersebut masih terbungkus rapi dalam kapsul yang terbuat dari timah dan baja. Namun tak lama. Setelah membawa kapsul itu ke kediaman Roberto, mereka berdua mulai membongkarnya; sebuah langkah yang berujung pada bencana dan kematian beruntun.

(sumber gambar)
Kapsul berisi bahan radioaktif ini yang mencelakakan penduduk kota tersebut

Dengan peralatan seadanya, mereka berusaha membukanya. Segera, kedua pria itu mulai merasakan efeknya. Mereka mulai pusing dan muntah-muntah. Namun tak menyadari bahwa reaksi itu ditimbulkan oleh zat radioaktif di depan mata mereka, merekapun meneruskannya. Keesokan harinya, rasa sakit yang dialami Wagner semakin parah, bahkan tangan yang tadinya ia pakai untuk memegang kapsul itu kini mulai membengkak karena luka bakar.

Nantinya, jemari yang ia gunakan untuk memegang kapsul itu terpaksa harus diamputasi.

Wagner mencoba datang ke rumah sakit dan mengeluhkan rasa yang timbul di tubuhnya. Namun sang dokter, tak menyadari bahwa gejala itu diakibatkan oleh radioaktivitas, mengira penyakitnya disebabkan oleh alergi makanan dan menyuruhnya pulang. Sementara itu Roberto meneruskan usahanya untuk membuka kapsul itu. Usahanya itu nantinya akan menyebabkan tangannya harus diamputasi, sama seperti rekannya.

Kali ini usaha Roberto berhasil. Ia berhasil menusukkan obeng ke kapsul itu dan melihat cahaya biru keluar dari dalamnya. Ia bahkan mencungkil sedikit dari bahan yang menyala itu dan terkesima akan keindahannya. Ia sama sekali tak sadar bahwa sinar yang memukau itu disebut "Radiasi Cherenkov" dan hanya dihasilkan oleh pancaran radioaktif yang amat berbahaya.

Gambaran radiasi Cherenkov yang menyala dalam sebuah reaktor nuklir

Bahkan bisa dibilang, tak banyak yang bisa melihat kemilau cahaya itu dan tetap hidup.

Roberto kemudian menjual kapsul kepada pemilik sebuah usaha rongsokan bernama Devair Alves Ferreira. Terhipnotis oleh cahaya biru yang dikeluarkan kapsul itu, Devair mengira benda itu berbau supranatural dan mengundang keluarga dan teman-temannya untuk menyaksikannya.

Devair kemudian berhasil mengeluarkan butiran cesium klorida dari dalam tabung itu dan membagikannya ke keluarga dan teman-temannya, menyebarluaskan petaka itu. Pada hari itu pula, istri Devair yang bernama Gabriela mulai merasa sakit. Ivo, saudara dari Devair yang juga terpukau pada zat bercahaya biru itupun memintanya sedikit dan membawanya pulang. Di sana, putrinya yang baru berusia 6 tahun bernama Leide bermain dengannya, bahkan memakannya sedikit.

Gabriela adalah orang pertama yang menyadari dampak dari zat bercahaya biru itu ketika ia menyadari bahwa ia dan orang-orang di sekitar itu menjadi sakit semenjak benda itu muncul di rumah itu. Rambutnya mulai rontok tanpa sebab dan dengan ketakutan, iapun membawa kapsul itu ke rumah sakit pada 28 September (15 hari semenjak Roberto dan Wagner memungutnya). Disana, segalanya akhirnya terkuak. Pemerintah kota dan seluruh pihak berwenang langsung menyadari bahwa bencana mengerikan tengah mencekam kota kecil mereka.

Namun semua itu telah terlambat. Semua orang yang menyaksikan cahaya biru itu sudah telanjur sakit dan sekarat. Satu demi satu mereka akhirnya menemui ajalnya. Dimulai dengan Admilson Alves de Souza, seorang pekerja di usaha rongsokan milik Devair yang menderita kerusakan paru-paru, pendarahan dalam, dan gagal jantung. Ia meninggal 18 Oktober tahun itu.

Kematiannya disusul dengan tragis oleh dua anggota keluarga Ferreira, yakni si mungil Leide dan Gabriela, istri Devair. Mereka menerima dosis sekitar 6 gray (dimana radiasi sebesar 2 gray saja sudah cukup untuk mencelakakan nyawa manusia). Leide mengalami kerusakan di hampir semua organ tubuhnya. Ia dirawat di sebuah ruang isolasi, dimana para dokter dan perawat di kota kecil itu tak ada yang berani mendekatinya.

Pemandangan seperti ini menjadi umum pasca terbongkarnya inside Goiânia 

Setelah akhirnya menghembuskan napas terakhirnya pada 23 Oktober, Leide dikubur di dalam sebuah peti khsuus dari bahan fiberglass dan dibalut dengan timah tebal untuk mencegah radiasi tubuhnya menular keluar. Bahkan proses pemakamannya sempat ditentang warga setempat karena mereka takut jenazahnya akan mencemari lingkungan mereka.

Korban berikutnya adalah Gabriela yang meninggal di hari yang sama dengan Leide. Gejala awal yang ringan seperti rambut rontok akibat radiasi akhirnya diikuti dengan gejala yang lebih serius, seperti pendarahan dalam, gagal ginjal, hingga dampak mental seperti kepikunan, walaupun ia baru berusia 37 tahun, membuktikan bahwa radiasi itu sudah menyerang otak. Darah keluar dari matanya dan saluran pencernaannya benar-benar hancur. Setelah sebulan menderita, akhirnya ia menderita karena keracunan darah setelah mengalami infeksi di sekujur tubuhnya.

Korban lainnya adalah Israel Baptista dos Santos, pemuda berusia 24 yang juga pekerja di tempat penjual rongsokan. Saluran pernapasan dan limpanya rusak parah hingga ia akhirnya meninggal pada 27 Oktober.

Korban terakhir adalah Devair dan saudaranya, Ivo yang menerima dosis tertinggi, yakni 7 gray. Keduanya sebenarnya sempat selamat beberapa tahun, namun Devair akhirnya meninggal pada 1994, diikuti Ivo pada 2003. Depresi juga berkontribusi pada kematian keduanya, sesuatu yang tak diherankan sebab keduanya pasti merasa bersalah atas kematian keluarga mereka.

Berita tentang insiden radioaktif itu langsung menghebohkan seantero negara. Sekitar 130 ribu penduduk kota kecil itu langsung menyerbu rumah sakit dan ternyata benar, alat geiger counter yang digunakan untuk mengukur radiasi menyala tanpa henti. Sekitar 250 orang ditemukan terekspos radiasi dengan kadar yang cukup mengkhawatirkan. Beruntung, semuanya mendapat perawatan yang intensif sehingga meminimalisir dampak buruk radiasi tersebut pada tubuh mereka.

Pembongkaran rumah yang terpapar radiasi nuklir

Lalu siapa yang akhirnya bertanggung jawab atas tragedi ini? Roberto dan Wagner yang pertama kali mencuri tabung radioaktif itu dianggap tidak berdosa, sebab mereka tak tahu apa yang mereka lakukan. Tanggung jawab jatuh pada pihak rumah sakit yang sengaja membiarkan bahan berbahaya itu terbengkalai sehingga pengadilan mewajibkan mereka membayar uang ganti rugi pada para korban.

Lalu bagaimana dengan sumber radiasinya sendiri? Kapsul radioaktif itu diamankan oleh pihak militer dan proses pembersihan pun mulai dilakukan. Untuk menggambarkan betapa beratnya proses pembersihan radiasi itu, seluruh lapisan tanah atas di wilayah yang terkontaminasi mesti digali dan dipindahkan. Beberapa rumah terpaksa dirubuhkan dan yang masih diperbolehkan berdiri, seluruh cat dindingnya harus dikelupas, lantainya disiram dengan asam, dan atapnya harus dilepas. Bahkan agar para korban-pun tidak “menularkan” radiasi ke lingkungan, air seni merekapun harus diproses dulu dengan resin penukar ion agar bisa dibuang dengan aman. Celakanya, waktu paruh cesium sendiri adalah 35 tahun, artinya butuh 35 tahun hingga angka radiasi cesium turun menjadi separuhnya.

Radiasi yang menimpa fasilitas pemerintah (pembuat bom atom mungkin) atau pembangkit listrik tenaga nuklir menurut gue pantas mendapatkan ganjarannya karena bermain-main dengan energi semesta yang teramat berbahaya. Namun nasib setragis itu tak selayaknya dialami oleh warga sipil yang tak tahu apa-apa, apalagi mereka yang telah menderita karena kondisi ekonominya.

SUMBER: Wikipedia

https://en.wikipedia.org/wiki/Goi%C3%A2nia_accident

6 comments:

  1. Dari postingan ini saya menyadari betapa berbahayanya radiasi radioakif yang selama ini saya abaikan 😱

    ReplyDelete
  2. tapi kita juga ga bisa menutup diri dari nuklir karena itu salah satu energi yang lebih ramah dibanding batu bara

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. salah pihak rumah sakit sama pemerintah si

    ReplyDelete
  5. Gw suka baca yg ginian nambah ilmu gweh

    ReplyDelete
  6. Anjim ngeri amat

    ReplyDelete