Sunday, December 8, 2019

THE PURGE: MALAM PERTAMA – EPISODE 5




“BRAAAAAK!!!” tembok depan apartemen mereka kini rata dengan tanah.

“CICIL! KELUARLAH!”

Tak ingin melewatkan pesta seru yang disebut “The Purge” itu, Adit kemudian mengenakan topeng dan kostum agar sama seperti partisipan lainnya yang berpenampilan seheboh mungkin. Ia memilih kostum boneka salah satu tokoh dari “Happy Tree Friends”. Memang terlihat imut, namun ia menyimpan berbagai rencana sadis untuk menyiksa mantannya itu, sama seperti adegan-adegan dalam serial kartun itu.

“Oh, Cicil sayang …. Ayo kita bermain, HAHAHAHA!”


Cicilia mengendap-endap keluar dari kamarnya, namun tiba-tiba seutas tangan menggenggamnya.

“AAAAA!!!” jeritnya.

“Tenang! Ini aku!” Bagus segera menyuruhnya untuk diam.

“Ba … Bagus?” Cicil segera mengenali tetangganya itu.

“Jangan berisik, ayo ke sini! Aku tahu tempat yang aman!”

Sementara itu, sosok lain menyaksikan semua kejadian itu. Ia mengendap dari balik pepohonan dan masuk ke dalam apartemen itu melalui dinding yang tadi sudah dirobohkan Adit.

Seakan tak ingin identitasnya diketahui orang lain, sosok itu kemudian mengenakan topeng putih Michael Myers dari Halloween.

***


“Gu … gue nggak sanggup lagi berlari …” Shalsa berhenti karena kelelahan.

“Iya … gue rasa kita harus beristirahat …” napas Fajar tersengal-sengal, “Berapa jauh tadi kita berlari? Lima kilo?”

“Baru 500 meter,” keluh Chris, “Makanya lu olahraga dong!”

“Baiklah, kita beristirahat dulu di sini.” Sandi memandang ke arah bus mereka yang terbakar tadi dan asapnya tak lagi terlihat, tertutup gedung-gedung tinggi, “Gue rasa kita aman di sini.”

“Hei, ada mall di sana!” tunjuk Ariel, “Yuk kita ke sana!”

“Lu gila apa!” Sandi tak setuju. Sebagai ketua kelas mereka, ia merasa bertanggung jawab membawa teman-temannya ke tempat aman, “Justru di situlah orang-orang jahat berkumpul! Mereka pasti ke sana semua untuk menjarah barang-barang yang ada.”

“Justru karena itu,” balas Ariel, “Di sana semua kebutuhan kita pasti ada.”

“Maksud lu,” Aulia menatapnya tak percaya, “Lu mau ikut-ikutan menjarah di sana?”

“Wah, gila lu Riel!” protes Chris.

“Terserahlah apa kata kalian! Gue udah muak dianggap pengecut ama teman-teman sekelas kita karena nggak berani ikutan The Purge! Dari dulu gue pengen merasakan adrenalin dan inilah kesempatan emas buat gue!”

“Bukan masalah elu pengecut apa bukan,” Sandi berusaha meyakinkannya, “Tapi kita harus punya prinsip!”

Whatever, pokoknya gue mau ke sana … terserah kalian mau ikut apa nggak!”

“Ariel! Tunggu!” seru Sandi. Namun Ariel bersikeras masuk ke sana. Sandi dan teman-temannya tak mampu menghentikannya.

“San … ini gawat! Dia bisa terluka di dalam sana.” kata Aulia, “Kita harus menjaganya!”

Huh, nggak ada pilihan lain!” kata Sandi. Ia segera menoleh pada teman-temannya yang lain.

“Fajar dan Chris, kalian tetap di sini jaga Aulia dan Shalsa. Gue akan masuk ke sana!”

“Nggak, gue akan ikut sama lu, San!” kata Aulia sambil menggelengkan kepala.

“Tapi …”

“Gue ikut, titik! Terlalu berbahaya buat elu untuk pergi ke sana sendirian. Lagian, gue punya paman yang bekerja di foodcourt mall itu. Dia bisa membantu kita.”

Melihat keteguhan hati gadis itu, Sandi akhirnya menyerah.

“Baiklah, tapi jangan pernah pergi dari sisi gue, mengerti.”

“Oke!”

Sandi tersenyum mendengarnya.

***

“Woi, buka pintunya!” Bagus menggedor-gedor kamar berpintu lapis besi yang ada di sampingnya. Di belakangnya, Cicil dan Syefira mengikutinya.

Pintu itupun dibuka. Terlihat pengamanan yang amat ketat di kamar itu, sebab terdengar sampai sepuluh suara “klik” pertanda gembok dibuka.

“Lho, Gus! Pantesan lu lama amat, bawa cewek rupanya hahaha.” Seorang pria bertopeng Jason ala Friday The 13 muncul. Cicil dan Fira langsung menjerit dibuatnya.

“Tenang, dia teman gue kok!” Bagus berusaha menenangkan mereka, “Dia memakai kostum tapi sama sekali nggak ikut The Purge. Kami cuman ngumpul-ngumpul saja seperti ini setiap The Purge berlangsung.”

“Iya, mengingat masa lalu hahaha. Ayo masuk, ada yang mengejar kalian ya?”

“Ya, kami butuh perlindungan!” Bagus segera menoleh dan mengajak keduanya masuk. “Nggak apa-apa … mereka teman karib gue kok.”

“Ta … tapi …” Cicil terlihat masih kurang percaya.

“CICIL! CICIL!” terdengar teriakan dari lantai di bawah mereka. Dengan enggan, Cicil akhirnya masuk.

***

“Ariel!” seru Sandi, “Ariel, lu dimana?”

“Ssssst, San!” Aulia menaruh jari di bibirnya, “Gue rasa itu bukan ide yang bagus. Lu bisa menarik perhatian.”

“Dari peserta Purge lainnya?” namun Sandi menoleh dengan heran, “Tapi lu lihat sendiri mall ini amat sepi.”

“Ini aneh sekali,” Aulia justru curiga dengan semua keheningan itu, “Mall dan pusat perbelanjaan lainnya biasanya menjadi sasaran empuk para penjarah. Kenapa malah lengang seperti ini?”

“Lihat manekin-manekin itu. Kenapa mereka malah ditaruh di tengah jalan seperti itu?” tunjuk Sandi. Aulia menoleh. Benar rupanya. Manekin yang biasanya dipajang di etalase, mengenakan pakaian dan tas fashion model terbaru untuk menarik pengunjung, malah ditata menutupi jalan.

“Apa untuk menghalangi para penjarah?” tanya Aulia.

“Mereka takkan terhenti hanya karena dihalangi patung seperti itu.” Sandi terkejut ketika melihat noda merah di lantai di bawahnya.

“Hei, apakah itu darah?” tunjuknya.

“Arahnya dari toko perhiasan itu!” tunjuk Aulia. Mereka berdua segera bergegas ke sana.

Aulia langsung menjerit. Di lantai mall, tergeletak tubuh Ariel yang tak lagi bernyawa. Tangannya terpotong, masih menggenggam emas yang dijarahnya dari toko perhiasan itu. Mulutnya mengeluarkan darah dengan lidahnya tergeletak di luar. Ususnya pun terburai dari perutnya yang tersayat terbuka.

“Si … siapa yang melakukan ini …”

“Krak kraaaak …”

Tiba-tiba terdengar suara langkah. Sandi dan Aulia segera menoleh dengan ngeri.

Para manekin yang tadi berjejer rapi di belakang mereka mulai bergerak dan mengeluarkan pisau berlumuran darah.

“Sial!”

BERSAMBUNG

1 comment: