Monday, December 9, 2019

THE PURGE: MALAM PERTAMA – EPISODE 12



“KALIAN MAU APA HAH?” terdengar suara dari speaker yang terletak di depan rumah sakit, “PERGI DARI SINI!”

“Tolong kami!” seru Aulia, sementara itu di belakangnya, Sandi tengah membopong Raga yang mulai lemas karena kehilangan banyak darah. “Dia terluka! Dia butuh bantuan medis!

“Apa kau tak dengar peraturan The Purge? Semua rumah sakit, pemadam kebakaran, dan kepolisian tidak berfungsi selama The Purge berlangsung! Jadi, pergi dari sini!”


Sandi menegok jam tangannya. “Masih dua jam lagi sebelum Purge berakhir. Kita tak bisa menunggu selama itu. Nyawanya bisa tak tertolong lagi!”

“Tolong kami, kumohon!” pinta Aulia.

“PERGI DARI SINI!” sniper dari arah jendela rumah sakit mulai menembaki lantai beton dimana mereka berdiri. Mau tak mau, ketiga orang itupun menyingkir dari depan rumah sakit.

“Kita tak bisa menyalahkan mereka …” bisik Raga, “Di dalam sana, para keluarga pasien akan melakukan apapun untuk melindungi orang-orang tercinta mereka. Mereka takkan sembarangan memasukkan orang asing ke dalam rumah sakit ini.”

“La … lalu bagaimana?”

“Ayahku mungkin bisa menolong kita. Dia bukan dokter, tapi ia dosen yang bekerja di universitas kedokteran.” kata Sandi.

“Kalau begitu, ayo kita ke sana.” ujar Aulia.

***

Bagus segera membopong tubuh pria bertopeng Michael Myers itu ke dalam kamar Fira.

Bisakah aku minta es untuk menghentikan pendarahan pria ini?” Bagus membuka pintu freezer besar yang terdapat di dalam ruangan itu. Orang tua Fira memang bekerja sebagai penjual es krim.

“Ja … jangan dibuka!” jerit Fira.

Namun terlambat. Bagus sudah telanjur membukanya. Dan iapun terkesiap.

Ada mayat yang terbujur kaku di dalam sana. Seorang pria. Ia mengenalinya dengan baik.

“Fira …” Bagus menoleh ke arah gadis itu, “I … ini ayahmu, bukan?”

Fira hanya terdiam. Baguspun akhirnya mengerti.

“Kau … selama ini kau tidaklah buta! Kau sudah sembuh!” ucapnya, “Pada saat temanku yang bertopeng Jason itu muncul, kau ikut menjerit ketakutan. Itu karena matamu sebenarnya sudah bisa melihat. Dan ayahmu …”

Fira mengangguk.

“Ya, Kak.” Fira perlahan melepas lensa kontaknya. “Aku yang membunuhnya!”

***

“Lihat! Ada sebuah truk hitam! Mungkin mereka bisa membantu kita!” Aulia melambaikan tangan, “Hei! Tolong kami!”

“Lia,” Sandi memperingatkan, “Gue rasa itu bukan ide yang bagus.”

Truk itupun berhenti, namun dari dalamnya muncul sosok-sosok menakutkan. Para suster dengan penampilan bak monster dari game Silent Hill.

“Lari …” bisik Raga kepayahan, “A … aku sering mendengar tentang mereka … pada malam Purge, mereka sering membawa orang-orang yang terluka … entah untuk diapakan … mungkin untuk percobaan ilmiah yang kejam …”

“Aulia, cepat lari!” seru Sandi.

Namun para suster itu bergerak dengan cepat. Belum lagi Raga tengah terluka sehingga ia tak mampu berlari. Tanpa susah payah, para suster itu berhasil menangkap mereka.

“Tidak! Lepaskan kami!” seru Sandi. Namun ia tak mampu melawan. Mereka mulai menusukkan jarum suntik ke tubuhnya.

Perlahan, ia mulai kehilangan kesadaran.

***

“Kenapa kau lakukan ini, Fira?” seru Bagus, “Kenapa?”

“Kau tak tahu, kak! Kau tak tahu apa yang monster itu lakukan kepadaku sejak aku kecil!” jeritnya, “Ia sering datang ke kamarku tengah malam lalu melecehkanku! Namun semua itu berhenti saat aku buta. Katanya aku tak menarik lagi. Karena itu, begitu transplantasi kornea itu berhasil dan aku bisa melihat, aku tetap berpura-pura buta supaya ia tak terus memperkosaku!”

“La … lalu kau membunuhnya?”

“Ini adalah malam segala malam, Kak. Malam dimana semua kejahatan termasuk pembunuhan dilegalkan. Tentu saja kami harus mengambil kesempatan emas ini.”

“Kami? Apa maksudmu? Apa kau juga membunuh ibumu juga?”

“Tidak! Tentu saja tidak!” bantahnya, “Justru Ibu yang merencanakan ini semua. Setelah ia tahu apa yang pedofil itu lakukan kepadaku, iapun murka. Ibu berhasil melumpuhkannya sebelum Purge dimulai. Namun karena masih ilegal untuk membunuhnya, ibuku terpaksa menunggu waktu yang tepat. Ibu menaruhnya di dalam freezer untuk ia bunuh nanti. Kami kehabisan es, jadi Ibu keluar untuk membelinya. Namun ia tak pernah kembali …”

“Ibumu menaruhnya di dalam boks freezer selama berjam-jam?” Bagus menoleh ke mayat ayah Fira yang kini telah membeku, “Ayahmu pasti mati kedinginan dan kehabisan oksigen.”

“A … awas, Kak!” jerit Fira. Tanpa Bagus sadari, pria bertopeng putih di belakangnya mulai bangkit dan menghantam kepalanya dengan kursi kayu.

“BRAAAAAK!!!”

Bagus langsung ambruk tak berdaya.

“Aku tak peduli apa yang terjadi di sini …” pria misterius itu mulai menarik pisau dari belakangnya, “Namun aku akan membunuhmu di sini, Radnock! Son of Lucifer!”

***

“Aku tak mengerti mengapa kau mau menurut pada pembunuh gila itu?” ujar Tara. Sementara itu, Egi tengah mengemudi di sampingnya.

“Siapa? Ratu Ilmu Hitam?” tanya Ratna seolah tanpa salah.

“Ya, psikopat itu! Siapa lagi? Mendengar namanya saja, aku sudah jijik!” cibir Tara.

“Baginda adalah junjungan kami. Kami bahkan mengidolakannya.” ujar Ratna.

“Tapi dia adalah orang yang teramat jahat!” seru Egi tak setuju, “Apa kau sudah dicuci otak?”

“Dia bukan seperti yang kalian pikirkan!” bela Ratna, “Kalian tak tahu apa-apa tentang dia, jadi jangan seenaknya menghakimi dia!”

“Huh, terserahlah!” ujar Tara acuh.

Mobil itu berhenti di depan sebuah apartemen yang kini terlihat rusak parah. Tara dan Egi keluar dari mobil, diikuti oleh gadis sexy berkostum Jill Valentine itu.

“Jadi di sini tempatnya?” tanya Tara. Ia sedih membayangkan bagian tubuh adiknya teronggok di tempat itu.

“Ya, dia di dalam sana. Temukan saja sendiri.” senyum Ratna.

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment