“KALIAN MAU APA HAH?”
terdengar suara dari speaker yang terletak di depan rumah sakit,
“PERGI DARI SINI!”
“Tolong kami!” seru
Aulia, sementara itu di belakangnya, Sandi tengah membopong Raga yang
mulai lemas karena kehilangan banyak darah. “Dia terluka! Dia butuh
bantuan medis!
“Apa kau tak dengar
peraturan The Purge? Semua rumah sakit, pemadam kebakaran, dan
kepolisian tidak berfungsi selama The Purge berlangsung! Jadi, pergi
dari sini!”
Sandi menegok jam
tangannya. “Masih dua jam lagi sebelum Purge berakhir. Kita tak
bisa menunggu selama itu. Nyawanya bisa tak tertolong lagi!”
“Tolong kami, kumohon!”
pinta Aulia.
“PERGI DARI SINI!”
sniper dari arah jendela rumah sakit mulai menembaki lantai beton
dimana mereka berdiri. Mau tak mau, ketiga orang itupun menyingkir
dari depan rumah sakit.
“Kita tak bisa
menyalahkan mereka …” bisik Raga, “Di dalam sana, para keluarga
pasien akan melakukan apapun untuk melindungi orang-orang tercinta
mereka. Mereka takkan sembarangan memasukkan orang asing ke dalam
rumah sakit ini.”
“La … lalu bagaimana?”
“Ayahku mungkin bisa
menolong kita. Dia bukan dokter, tapi ia dosen yang bekerja di
universitas kedokteran.” kata Sandi.
“Kalau begitu, ayo kita
ke sana.” ujar Aulia.
***
Bagus segera membopong
tubuh pria bertopeng Michael Myers itu ke dalam kamar Fira.
“Bisakah aku minta
es untuk menghentikan pendarahan pria ini?” Bagus membuka pintu
freezer
besar yang terdapat di dalam ruangan itu. Orang tua Fira memang
bekerja sebagai penjual es krim.
“Ja … jangan dibuka!”
jerit Fira.
Namun terlambat. Bagus
sudah telanjur membukanya. Dan iapun terkesiap.
Ada mayat yang terbujur
kaku di dalam sana. Seorang pria. Ia mengenalinya dengan baik.
“Fira …” Bagus
menoleh ke arah gadis itu, “I … ini ayahmu, bukan?”
Fira hanya terdiam.
Baguspun akhirnya mengerti.
“Kau … selama ini kau
tidaklah buta! Kau sudah sembuh!” ucapnya, “Pada saat temanku
yang bertopeng Jason itu muncul, kau ikut menjerit ketakutan. Itu
karena matamu sebenarnya sudah bisa melihat. Dan ayahmu …”
Fira mengangguk.
“Ya, Kak.” Fira
perlahan melepas lensa kontaknya. “Aku yang membunuhnya!”
***
“Lihat! Ada sebuah truk
hitam! Mungkin mereka bisa membantu kita!” Aulia melambaikan
tangan, “Hei! Tolong kami!”
“Lia,” Sandi
memperingatkan, “Gue rasa itu bukan ide yang bagus.”
Truk itupun berhenti,
namun dari dalamnya muncul sosok-sosok menakutkan. Para suster dengan
penampilan bak monster dari game Silent Hill.
“Lari …” bisik Raga
kepayahan, “A … aku sering mendengar tentang mereka … pada
malam Purge, mereka sering membawa orang-orang yang terluka … entah
untuk diapakan … mungkin untuk percobaan ilmiah yang kejam …”
“Aulia, cepat lari!”
seru Sandi.
Namun para suster itu
bergerak dengan cepat. Belum lagi Raga tengah terluka sehingga ia tak
mampu berlari. Tanpa susah payah, para suster itu berhasil menangkap
mereka.
“Tidak! Lepaskan kami!”
seru Sandi. Namun ia tak mampu melawan. Mereka mulai menusukkan jarum
suntik ke tubuhnya.
Perlahan, ia mulai
kehilangan kesadaran.
***
“Kenapa kau lakukan ini,
Fira?” seru Bagus, “Kenapa?”
“Kau tak tahu, kak! Kau
tak tahu apa yang monster itu lakukan kepadaku sejak aku kecil!”
jeritnya, “Ia sering datang ke kamarku tengah malam lalu
melecehkanku! Namun semua itu berhenti saat aku buta. Katanya aku tak
menarik lagi. Karena itu, begitu transplantasi kornea itu berhasil
dan aku bisa melihat, aku tetap berpura-pura buta supaya ia tak terus
memperkosaku!”
“La … lalu kau
membunuhnya?”
“Ini adalah malam segala
malam, Kak. Malam dimana semua kejahatan termasuk pembunuhan
dilegalkan. Tentu saja kami harus mengambil kesempatan emas ini.”
“Kami? Apa maksudmu? Apa
kau juga membunuh ibumu juga?”
“Tidak! Tentu saja
tidak!” bantahnya, “Justru Ibu yang merencanakan ini semua.
Setelah ia tahu apa yang pedofil itu lakukan kepadaku, iapun murka.
Ibu berhasil melumpuhkannya sebelum Purge dimulai. Namun karena masih
ilegal untuk membunuhnya, ibuku terpaksa menunggu waktu yang tepat.
Ibu menaruhnya di dalam freezer untuk ia bunuh nanti. Kami kehabisan
es, jadi Ibu keluar untuk membelinya. Namun ia tak pernah kembali …”
“Ibumu menaruhnya di
dalam boks freezer selama berjam-jam?” Bagus menoleh ke mayat ayah
Fira yang kini telah membeku, “Ayahmu pasti mati kedinginan dan
kehabisan oksigen.”
“A … awas, Kak!”
jerit Fira. Tanpa Bagus sadari, pria bertopeng putih di belakangnya
mulai bangkit dan menghantam kepalanya dengan kursi kayu.
“BRAAAAAK!!!”
Bagus langsung ambruk tak
berdaya.
“Aku tak peduli apa yang
terjadi di sini …” pria misterius itu mulai menarik pisau dari
belakangnya, “Namun aku akan membunuhmu di sini, Radnock! Son of
Lucifer!”
***
“Aku tak mengerti
mengapa kau mau menurut pada pembunuh gila itu?” ujar Tara.
Sementara itu, Egi tengah mengemudi di sampingnya.
“Siapa? Ratu Ilmu
Hitam?” tanya Ratna seolah tanpa salah.
“Ya, psikopat itu! Siapa
lagi? Mendengar namanya saja, aku sudah jijik!” cibir Tara.
“Baginda adalah
junjungan kami. Kami bahkan mengidolakannya.” ujar Ratna.
“Tapi dia adalah orang
yang teramat jahat!” seru Egi tak setuju, “Apa kau sudah dicuci
otak?”
“Dia bukan seperti yang
kalian pikirkan!” bela Ratna, “Kalian tak tahu apa-apa tentang
dia, jadi jangan seenaknya menghakimi dia!”
“Huh, terserahlah!”
ujar Tara acuh.
Mobil itu berhenti di
depan sebuah apartemen yang kini terlihat rusak parah. Tara dan Egi
keluar dari mobil, diikuti oleh gadis sexy berkostum Jill Valentine
itu.
“Jadi di sini
tempatnya?” tanya Tara. Ia sedih membayangkan bagian tubuh adiknya
teronggok di tempat itu.
“Ya, dia di dalam sana.
Temukan saja sendiri.” senyum Ratna.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment