Monday, December 9, 2019

THE PURGE: MALAM PERTAMA – EPISODE 9



“Terima kasih, Oom.” Bagus dengan lega masuk ke dalam “Panic Room” yang berada dalam kamar Foo. Foo adalah pemilik apartemen yang mereka tinggali. Ia sendiri jarang terlihat, karena tiap bulan para penghuni apartemen itu membayar via transfer bank.

“Apa kalian baik-baik saja?” tanya Foo, “Siapa pria itu? Selama bertahun-tahun, para penghuni apartemen ini hidup dengan damai dan selama The Purge, tak ada yang menyerang kami.”

“Maaf …” Cicil merasa bersalah, “Ini salah saya. Dia adalah Adit, mantan saya yang masih sakit hati dengan saya.”


“Sejak dulu sudah sering kukatakan pada para penghuni di sini, satu-satunya cara agar kita aman selama The Purge adalah berperilaku ramah dan selalu berbuat baik dengan orang lain. Dengan begitu, takkan ada yang dendam dengan kita, bahkan merekapun justru melindungi kita sebagai balas budi.”

Bagus mengangguk. Semenjak dulu ia memang mengagumi Foo karena kebijaksanaannya. Walaupun dia sudah tua, namun ia sama sekali belum pikun, bahkan bisa menjadi sosok teladan di masyarakat mereka. Sosok seperti dia-lah yang patut dipuja di negeri ini, bukan sekelompok pembunuh yang beraksi di malam Puge. Justru malah mereka yang dianggap keren dan dijadikan panutan anak muda sekarang.

“Kalian akan aman di sini.” kata Foo sambil duduk di sofanya. “Tunggulah hingga fajar menyingsing dan Purge berakhir.”

“Apa Anda sudah lama tinggal di sini?” Cicil melihat-lihat. Ada banyak barang mewah di sana. “Kenapa Anda bersembunyi di sini? Anda jarang sekali kelihatan.”

“Aku sudah tua, Nona.” Balas Foo sambil meminum kopinya, “Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang.”

“Oh ya,” Bagus langsung teringat. Semua ancaman yang datang dari pria berpakaian Hapy Tree Friends itu membuatnya lupa akan masalah yang dihadapi Syefira. “Fira, bagaimana dengan orang tuamu? Apa mereka sudah memberi kabar.”

Gadis itu menggeleng dengan sedih.

“Apa? Dimana orang tuamu?” tanya Foo penuh simpati.

“A … aku tidak tahu. Mereka tak pulang malam ini.”

“Astaga … apa mereka menjadi korban The Purge?” tanya Cicil.

Raut wajah Foo berubah menjadi sedih, “Ma … maafkan aku …”

“Jangan salahkan diri Anda, Oom Foo,” kata Bagus, “Anda memang pemilik rumah apartemen ini, namun Anda tak bisa melindungi semuanya …”

“Bukan itu. Semua ini salahku …” Foo mulai menangis, “Semua penderitaan ini … aku sungguh menyesal …”

Foo meraih liontin kalungnya dan mulai menggenggamnya dengan erat.

Sementara itu, Cicil menoleh dan menatap ke arah layar kamera keamanan.

***

“Kanti?” ujar Ratu Ilmu Hitam, “Ya, aku ingat gadis itu … aku ingat saat aku mencongkel matanya menggunakan pencabut paku pada martil … aku juga ingat teriakannya …”

“Keparat kau!” Tara segera menembakkan senjatanya ke arah sosok mirip hantu itu. Namun percuma. Peluru-peluru itu hanya menembus kegelapan malam di belakangnya.

“Percuma, Tara.” Egi berusaha menghentikannya, “Dia hanya hologram!”

“Aku juga masih ingat kata-kata terakhirnya. Apa kau ingin tahu, Tara?” godanya, “Kata-kata terakhirnya adalah: KAKAAAAAK! KAKAK, TOLONG AKU … RASANYA SAKIT SEKALI. TOLONG KAKAK, TOLONG …. AAAAA!!!”

“HAHAHAHA!” tawa Ratu Ilmu Hitam bergaung, “Teriakannya sungguh merdu, seperti simponi melodi yang enak didengar. Sampai akhir hayatnya-pun dia terus memanggil namamu Tara, namun kau tak pernah datang. Kau tak pernah menolongnya, padahal ia terus percaya kau akan menyelamatkannya. HAHAHAHAHA!!!”

“Hentikan! HENTIKAN!!!” air mata Tara bercucuran. Iapun jatuh berlutut, mencoba menutup telinganya agar ia tak lagi mendengar ejekan yang kejam itu.

“Tara, ayo kita pergi saja.” Egi berusaha membantunya berdiri, “Ini percuma. Kita takkan bisa membunuhnya. Dia berada di tempat lain!”

“Kau memang takkan bisa membunuhku, Tara.” ujar Ratu Ilmu Hitam, “Namun apa kau ingin tahu dimana mata itu berada?”

Tara mendongak.

“Ya, aku bisa memberitahumu dimana mata itu dan kau bisa mengambilnya kembali!” ia lalu menoleh ke arah gadis berpakaian sexy ala tokoh Resident Evil itu, “RATNA!”

“Ya, Baginda!” gadis itu berlutut menyembahnya.

“Antar mereka ke sana!” ujarnya sambil menyeringai. Bayangannya pun perlahan menghilang, bak sosok hantu sungguhan.

Ratna hanya tersenyum.

***

Sandi dan Lia akhirnya tiba di sekolah mereka. Pintu depan tak dikunci. Lampu di dalam sekolah pun menyala. Jelas sekali para guru-guru tidak malam pulang malam ini. Namun mengapa?
Kedua remaja tersebut tak ambil pusing tentang hal itu. Justru mereka beruntung guru mereka masih berada di sekolah, sehingga mereka bisa meminta perlindungan pada mereka.

“Ayo kita masuk,” ujar Sandi. Namun langkahnya terhenti ketika ia menyadari Aulia masih berdiri saja di halaman tempat mereka biasanya melakukan upacara bendera. Sepertinya ia masih enggan.

“Ada apa, Lia? Kenapa lu nggak masuk?”

“Ba … bagaimana kita akan menjelaskan tentang kematian yang lainnya? Anak-anak di dalam bus … lalu Chuu dan Mulia yang memutuskan untuk ikut The Purge … serta teman-teman kita yang ikut menjadi korban …”

“Gue mengerti, itu sangat berat. Namun guru-guru kita pasti membantu kita.”

“Justru itu, San … apa kau merasa ini tidak sedikit aneh?”

“Aneh? Aneh bagaimana?”

“Ini malam The Purge kan? Kenapa … kenapa di sini justru ramai?”

“Kau kenapa curiga begitu? Mereka kan sensei kita … guru kita. Pak Yuga memang galak, tapi ia amat peduli pada siswa-siswanya.”

Masih dengan enggan, akhirnya Aulia ikut masuk ke dalam gedung sekolah itu.

***

Iklan di layar kacapun berganti dengan tayangan baru. Kamera men-shot penampilan Zalika yang menyanyikan lagu terbarunya dengan latar belakang mayat para penonton alay yang kini hanya tertinggal potongan-potongan tubuhnya saja. Kali ini ia bergoyang dengan kostum baru, yakni dengan atasan tank top dan rok rumbai ala penari hawaii. Lagu yang dibawakannya itu juga menjadi soundtrack The Purge tahun ini.

“Stamina mina …. ee … waka waka ee … stamina mina stamina mina …”

“Kembali lagi acara kami!” Darmas dan Yuli kali ini duduk bak presenter acara bincang-bincang di studio mereka untuk meneruskan acara yang tadi sempat terinterupsi oleh aksi Tara dan Egi.

“Nah, karena set 'Dahsyatnya Komunis' kami sudah porak poranda, maka kami putuskan menggantinya dengan acara dialog berjudul 'Mata Dajjal'. Nah, rekan Yuli.” Darmas menoleh ke arahnya, “Bagaimana liputan Anda tentang pelaksanaan The Purge di negara-negara lain? Apa sama suksesnya dengan di tanah air?”

“Tentu saja, rekan Darmas. Bahkan pelaksanaan The Purge di luar negeri amat unik sesuai dengan karakteristik masing-masing negara. Di Jepang, aksi ini dikenal dengan nama 'Purago Mantappu' dan Rekan Darmas pasti sudah tahu seperti apa karakter orang-orang Jepang. Begitu usai, para peserta The Purge di Jepang langsung bergotong-royong untuk membersihkan kekacauan yang mereka buat.”

Siaran TV langsung menunjukkan slide warga Jepang membersihkan bekas kerusuhan dan penjarahan serta menyingkirkan mayat-mayat di jalan sambil berselfie.

“Aku dengar pelaksanaan The Purge di negara-negara Eropa juga unik karena digabung menjadi satu, yakni 'Europurge'. Gosipnya karena di sana tingkat kriminalitas amat rendah sehingga aksi-aksi kejahatan yang dilakukan di sana amat sepele dan kurang seru, seperti kentut sembarangan dan hack akun mantan. Beda banget ya sama di sini?”

“Hmmm … jadi penasaran apakah The Purge di India juga disertai joget-joget?”

“Oke sekarang mari kita lanjutkan acara kita dengan penerawangan mata batin dari bintang tamu kita, ahli supranatural sekaligus anak indigo ...”

“Sudah Kakak bilang jangan dengarkan acara tidak bermutu ini!” tiba-tiba Bagus meraih remote dan mematikan televisi, “Bolehkah aku bertanya sesuatu, Fira?”

Gadis cilik itu menoleh mengikuti arah suara Bagus.

“Kenapa matamu bisa seperti itu, maksudku … kenapa kau bisa buta?”

Fira menunduk dengan sedih, “Aku mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu. Tabrak lari. Pelakunya tak pernah tertangkap. Semenjak itu, ayah dan ibu bekerja keras demi pengobatanku.”

“Namun itu semua tak berhasil ya?” Bagus ikut sedih. Ia tahu, kehidupan sempurna yang didengang-dengungkan Republik Sosialis Indonesia berkat The Purge sebenarnya hanyalah ilusi semata. Tetap saja ada kaum proletar alias kaum miskin yang tak mampu membayar tingginya biaya kesehatan. Terutama jika mereka memerlukan transplantasi organ tubuh. Harganya amat tinggi, bisa mencapai ratusan juta.

Tak hanya itu, kaum miskin juga seringkali menjadi sasaran The Purge karena mereka tak mampu membeli persenjataan atau alat keamanan yang bisa melindungi mereka. Bahkan, ia curiga sebenarnya The Purge hanya bertujuan untuk mengendalikan populasi dan melenyapkan kaum miskin yang menjadi beban pemerintah.

“Semua ini salah Founding Fathers.” Foo menenggak minumannya, “Ini semua salah mereka.”

“Founding Father? Apa Oom mengenal mereka?”

“Mereka adalah orang-orang idealis yang hanya mempedulikan diri mereka sendiri. Semua cita-cita mereka … semula tujuan mereka sebenarnya mulia. Namun cara untuk mencapainya … itu semua adalah kesalahan.”

“Jadi, Oom Foo tak setuju dengan para Founding Fathers kita?”

“Bagaimana dengan kau sendiri, Bagus?” Foo balik bertanya, “Apa pendapatmu dengan The Purge? Apa kau juga mendukungnya?”

Bagus menghela napas, “Jika Oom menanyakan hal itu beberapa tahun lalu, mungkin aku menjawab iya. Namun sekarang aku sudah berubah.”

“Gawat!” tiba-tiba Fira mendongak. Wajahnya terlihat begitu pucat. “Aku mendengar sesuatu!”

“Mendengar sesuatu? Kau mendengar apa?” Bagus berusaha memicingkan telinganya, namun yang terdengar hanya desah kesunyian malam yang menyelimuti kamar itu.

“Ada suara pintu besi dibuka … dan diikuti jejak langkah …”

Bagus segera waspada. Fira boleh buta, namun kekurangannya itu justru menajamkan indranya yang lain.

Namun saat Bagus hendak bangkit, tiba-tiba seorang pria menghajarnya dengan bagian bawah pistol.

“BRAAAAK!!!” Bagus merasakan rahangnya hampir patah karena hajaran itu.

“Kak!” Fira segera berusaha membantu Bagus yang tersungkur ke lantai. Ia mengusap darah dari mulutnya dan menatap tajam ke pria yang baru saja menyerangnya.

“Ba … Bagaimana kau bisa masuk?” seru Foo.

“Hahahahaha …” Adit dengan kostum Happy Tree Friends-nya menodongkan senjatanya ke arah mereka bertiga, “Kini riwayat kalian akan berakhir!”

“A … Adit …” seru Cicil.

“Cil, cepat lari! Pergi dari sini!” seru Bagus.

Namun tanpa diduga, Cicil justru melangkah ke arahnya dan memeluknya.

“Hai, Sayang!” senyum gadis itu. “Akhirnya kau tiba juga.”

“A … apa yang terjadi sebenarnya?” Bagus terlihat tak paham.

“Kau …” tunjuk Foo dengan geram ke arah Cicil, “Kau yang membiarkannya masuk.”

“Semua ini akal-akalan kalian saja.” bisik Fira dengan geram, “Siapa sebenarnya kalian?”

Cicil hanya tersenyum licik.

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment