Friday, December 6, 2019

TALES OF PARANOIA #4: DESA YANG MENARI HINGGA MATI



Apa yang kalian bayangkan tentang Eropa pada abad pertengahan? Mungkin yang terngiang di benak kalian adalah para raja, ratu, serta ksatria yang saling berintrik dan berperang bak “Games of Thrones”. Atau mungkin yang terbersit adalah sejarah gelap berupa wabah Black Death yang menakutkan? Namun ada satu hal yang pasti tak pernah kalian pikirkan, yakni “wabah menari”.

Yup, “wabah menari” (“dance plague”) merupakan salah satu hal aneh yang terjadi di Eropa kuno, tapi jarang sekali disinggung dalam buku sejarah. Namun “wabah menari”, seaneh apapun kedengarannya, benar-benar terjadi. Kala itu, siapapun yang terjangkit akan terus menari, bahkan hingga mereka mati. Tak hanya satu dua orang, namun seluruh desa bisa terjangkit wabah itu dan menari hingga mereka terlelap dalam kematian. Apakah penyebabnya? Sebuah penyakit misterius? Ataukah hal yang mistis? Bedah kasus kali ini akan menguaknya.

Dear readers, inilah Dark Case kali ini.


Di antara abad ke-14 hingga ke-17, Eropa dicekam oleh penyakit menular misterius yang disebut “dancing mania” atau “St. Vitus dance”. Siapapun yang terjangkit oleh “virus” ini akan menari dan terus menari tanpa bisa dihentikan, bahkan hingga mereka ambruk setelah jantung mereka berhenti berdetak karena kelelahan. “Wabah menari” ini bahkan bisa menjangkiti hingga ribuan orang dalam sebuah desa atau kota. Penyakit aneh ini pertama tercatat di kota Aachen, Jerman pada 1374 dan terus menyebar ke seluruh penjuru Eropa seperti Belanda, Swiss, Luxembourg, hingga Prancis dan Italia. Pada abad ke-17, penyakit ini diberi nama “Sydenham chorea” dan oleh para dokter dianggap sebagai gejala epilepsi, walaupun dugaan ini kemudian terbukti tidak benar.

Mereka yang terjangkiti oleh “wabah menari” ini memiliki gejala-gejala yang sama. Mereka tiba-tiba akan menari dalam kondisi hampir tidak sadar (estatik), kadang sambil berteriak, tertawa, atau bahkan menangis tanpa kendali. Beberapa kadang malah menyanyi sembari mereka menari. Mereka benar-benar kehilangan kontrol akan tubuh mereka, bahkan beberapa ada yang melompat-lompat seperti binatang, bahkan melolong. Para “penari” ini juga akan mengalami sakit dada, kejang-kejang, halusinasi, napas tersengal-sengal, beberapa juga akan saling menyakiti satu sama lain ketika tubuh mereka berhantaman dengan “penari” lain, atau bahkan terinjak-injak. Mereka tak bisa dihentikan (bahkan setelah orang-orang lain berusaha memegangi dan menghentikan mereka) dan terus menari hingga tulang-tulang mereka patah atau akhirnya mati karena kelelahan.

Kasus “wabah menari” paling terkenal terjadi pada Juli 1518 yang kala itu menjangkiti penduduk di Strasbourg, Prancis. Wabah itu dimulai dengan seorang wanita bernama Frau Troffea yang tiba-tiba menari di jalanan selama 4 hari berturut-turut. Dalam seminggu, 34 penduduk kemudian bergabung dengan dirinya. Dalam kurun waktu sebulan, jumlah para “penari” ini melonjak hingga 400-an orang, sebagian besar perempuan. Mereka terus menari dan menari tanpa berhenti, beristirahat, ataupun makan dan minum.



Para petinggi kota kemudian meminta saran pada para tabib yang kemudian menyarankan agar mereka membangun sebuah panggung dan memainkan musik untuk menemani para “penari” itu. Para tabib menyangka bahwa jika keinginan mereka dituruti, pada akhirnya mereka akan berhenti karena kelelahan. Namun saran itu justru membawa petaka ketika hal sebaliknya justru terjadi. Lebih banyak orang malah bergabung ke dalam kerumunan penari dan mereka tak pernah berhenti, terkecuali jika ajal menjemput mereka. Diperkirakan dalam sehari sekitar 15 orang “penari” meninggal karena kelelahan, serangan jantung, dan stroke.

Namun apakah penyebab wabah aneh nan misterius ini? Pada masa dahulu dimana dunia kedokteran belum berkembang seperti ini, tentu hal-hal supranatural menjadi penjelasannya, seperti dirasuki oleh roh halus, kutukan, atau bahkan hukuman oleh Tuhan. Namun para ilmuwan dan psikiater pada masa ini menyebut kasus ini sebagai contoh “histeria massal”.

Perlu diingat bahwa wabah ini pertama muncul hanya satu dekade setelah benua Eropa mengalami wabah “Black Death” yang menyapu habis separuh penduduk Eropa. Stress akibat masa-masa penderitaan itu, termasuk melihat orang-orang yang mereka sayangi meninggal di depan mata mereka, belum lagi kehidupan yang teramat susah pada zaman dengan teknologi tertinggal itu membuat mereka rentan mengalami “histeria massal”. Bencana alam, peperangan, kelaparan, hingga wabah penyakit senantiasa menghantui Eropa kala itu hingga membuat hidup mereka teramat menderita. Tak heran, rasa stress berkepanjangan inilah yang membuat mereka ingin melarikan diri dari kenyataan yang ada. Salah satu kenikmatan yang jarang mereka rasakan pada saat itu adalah pesta dengan musik, menari, dan menyanyi.

Hal lain yang membuktikan bahwa “wabah menari” ini sesungguhnya diakibatkan oleh epidemi stress adalah kenyataan bahwa sebagian besar penderitanya adalah wanita. Kala itu bisa dibayangkan bahwa kaum wanita menjadi penduduk kelas dua yang banyak mengalami diskriminasi. Mereka harus bekerja dengan keras, belum lagi dalam usia belia mereka dipaksa menikah atau bahkan dikirim ke biara untuk menjadi biarawati untuk memperingan beban keluarga mereka. Stress itu menyebabkan mereka lebih rentan secara psikologis untuk terjangkit “wabah menari” tersebut.

Tanaman gandum yang terinfeksi ergot (jamur parasit beracun)

Namun ada pula teori lain, yakni keracunan ergot, sejenis jamur parasit. Selama musim-musim tertentu dimana hujan banyak turun, jamur ergot tumbuh dan berkembang biak dengan leluasa, hingga menjangkiti tanaman-tanaman budidaya di Eropa. Ketika tanaman-tanaman itu dipanen dan dimakan, racun ergotamin dalam jamur yang tak sengaja termakan itu menyebabkan halusinasi dan kejang-kejang. Namun penjelasan itu, walaupun terdengar saintifik, tetap tidak menjelaskan keinginan yang kuat bagi penderitanya untuk terus menari hingga mati.

Apapun penyebabnya, “wabah penari” ini telah punah di Eropa, jelas karena kehidupan di sana jauh lebih baik dan maju. Akan tetapi, sejarah aneh itu perlu kita ingat sebab walaupun “wabah menari” telah hilang, namun penyebabnya, yakni “histeria massal” tetap bisa terjadi pada masa modern kini. Salah satunya adalah kesurupan massal, yang mungkin akan gue bahas di kesempatan lain.

SUMBER: Wikipedia

2 comments: