Monday, December 9, 2019

THE PURGE: MALAM PERTAMA – EPISODE 11



“Penggunaan bom dilarang pada saat pelaksanaan The Purge!!!”

Para polisi itu menembaki para perusuh yang berusaha meledakkan brankas bank. Mereka pun langsung berjatuhan bak lalat mati, sementara sisanya melarikan diri.

“Huh, tugas kita malam ini sangat melelahkan. Capek sekali rasanya.” Bewa melap keringat di dahinya, “Bagaimana denganmu, Raga?”

Namun Raga masih termenung, “Bagaimana ya kondisi anak-anak remaja dalam bus itu? Apa mereka berhasil selamat?”


“Kok kamu masih memikirkan mereka sih? Mereka berada di tengah-tengah pelaksanaan Purge tanpa senjata dan mereka juga tak mampu membela diri mereka sendiri. Kecil kemungkinannya mereka bertahan hidup.”

“Jangan berkata seperti itu, Kak! Apa kau tidak kasihan pada mereka?”

“Kasihan sih kasihan. Tapi mau bagaimana lagi? Memang itulah takdir mereka. Pengorbanan mereka pada malam Purge akan selalu dikenang dan pasti akan membawa kebaikan bagi bangsa kita.”

“Aku heran kenapa kau begitu mengaung-agungkan The Purge?” Raga mulai emosi mendengar ketidakpedulian kakaknya sendiri, “Apa tidak menggelitik hati nuranimu kalau banyak orang-orang tak bersalah menjadi korban?”

“The Purge tak hanya membawa kemalangan dan kematian, Rag.” Bewa hanya menyeringai, “The Purge juga membawa kebaikan bagi orang-orang. Contohnya itu!”

Raga menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakaknya. Terlihat seorang sosok wanita berpakaian lingerie hitam yang seksi dan sepasang sayap malaikat terikat di punggungnya. Ia juga membawa cambuk dan rantai. Di ujung rantai yang dipegangnya, terlihat pria-pria merangkak dengan rantai di leher mereka bak anjing mengikuti tuannya. Ia melihat beberapa pria bahkan diikat hingga menyerupai Human Centipede.

“U … Uci …” sahut Raga tak percaya, “Apa betul itu Amelia Uci, rekan kita di kepolisian?”

“Atau lebih tepatnya Sang Victoria Angel. Kau sering mendengar namanya kan? Dia beraksi tiap malam The Purge untuk membasmi pria-pria hidung belang.”

“U … Uci adalah Victoria Angel?” ujar Raga tak percaya.

Kau tahu sendiri kan banyak kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang menimpa wanita banyak yang tak terselesaikan. Penyebabnya adalah banyak korban yang merasa malu sehingga tak mau melapor. Selain itu, kau tahu sendiri masyarakat kita yang sering menyalahkan korban alias victim blaming. Bukannya menyalahkan para pemerkosa, mereka malah menyalahkan pakaian para wanita itu.”

Raga dengan enggan mengangguk. Pola pikir masyarakat memang harus diubah. Naasnya, memang begitulah kenyataannya. Buktinya, masyarakat menganggap KKN di Desa Penari yang cerita fiktif lebih menakutkan dan lebih viral ketimbang KKN yang dijalani Agni.

“Hanya pada malam Purge inilah, para korban itu bisa mendapat keadilan. Uci menangkap dan menyeret para pria pelaku pelecehan itu seperti anjing agar mereka kapok.”

“AAAAA!!!” seorang pria hidung belang yang berhasil ditangkap Uci berusaha melarikan diri dari rantai itu. Namun Uci langsung menggapai sebuah belati dari sayapnya …. Ya, Raga baru menyadari bahwa sayap itu bukan terbuat dari helaian bulu-bulu yang lembut, melainkan pisau-pisau tajam yang ditata bak sayap.

Jika cinta memelukmu, maka dekaplah dia walaupun pedang disela-sela sayapmu akan melukaimu …” Raga teringat kutipan puisi “Sayap-Sayap Patah” milik sastrawan Lebanon, Kahlil Gibran. Dari sanalah Uci mendapat inspirasi untuk senjatanya, pikir pemuda itu.

“HIAAAAT!” Uci segera melemparkan pisau itu ke arah buronannya. Pisau itu segera melumpuhkannya, menusuk punggungnya dan membuatnya terjerembap ke tanah.

Dengan santai, Uci mendatanginya dan menancapkan ujung high heels yang dipakainya ke organ uwuwuwu pria itu.

“AAAAARGH!!!” pria itu langsung memuntahkan darah. Rupanya, ujung sepatu berhak tinggi yang dikenakan Uci juga terbuat dari bilah logam yang amat tajam.

Raga mengernyit menyaksikan kematian sadis dari pria itu, namun dalam hati, ia juga merasa bahwa pria itu pantas mendapatkan ganjarannya. Walaupun tetap ia tak setuju dengan aksi main hakim sendiri yang dilakukan Uci.

“AAAAAAA!!!” tiba-tiba Raga mendengar seutas teriakan.

“Kau mendengar itu?”

“Apa?”

“Teriakan itu!”

“Ini malam The Purge, Rag.” Bewa menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tentu saja ada banyak teriakan dimana-mana.”

“Kita harus menolongnya!” Raga segera bergegas.

“Hei, Rag! Tunggu!”

***

Suara tembakan terdengar membabi buta.

“Habisi mereka semua!” jerit Cicil, “Mereka membunuh kekasihku!”

Anggota geng Fluffy itu masih menembaki mereka. Bagus yang tengah terluka hanya bisa bersembunyi bersama Fira di belakang sofa.

“DOR DOR DOR!!!”

“AAAAKH!!!”

“Oom Foo!” ia berteriak begitu melihat Foo terkena letusan senjata. Ia segera menarik tubuh pria tua renta itu ke dekatnya dan berusaha memberikan pertolongan pertama.

“Oom Foo! Bertahanlah!” serunya. Ia berusaha menghentikan pendarahan, namun ia justru menemukan sebuah liontin tersibak dari dalam bajunya.

Liontin itu bertuliskan FF.

“Founding Father …” bisik Bagus. Akhirnya ia mengerti siapa Foo sebenarnya. “Oom adalah salah satu dari Founding Father.”

“Be … benar …dan aku tak bangga dengan hal itu,” Foo berkata-kata dalam napas terakhirnya, “Aku sungguh menyesal … aku sungguh menyesal menciptakan semua ini … Selama ini aku bersembunyi di sini, takut jika para korban The Purge akan membalas dendam terhadapku … namun mereka terus menghantuiku … ya, bahkan di sini …”

“Oom Foo … bertahanlah … ini semua bukan salahmu!”

“A … aku hanya bisa berharap … kalian semua bisa selamat dari kekacauan yang kubuat ini … “ Foo mulai kehilangan kesadaran, “Ma … maafkan aku …”

Kepalanya pun terkulai lemas, tak bernyawa.

“TIDAAAAK!” seru Bagus.

Tiba-tiba Panic Room itu dikelilingi cahaya yang amat terang.

“PEMBUNUHAN TERHADAP FOUNDING FATHER BERARTI PELANGGARAN TERHADAP ATURAN THE PURGE!” suara yang menggelegar mengelilingi mereka, diikuti desiran baling-baling helikopter di luar mereka. “DENGAN KEKUATAN PARA FOUNDING FATHER, KAMI AKAN MENGHUKUMMU!”

“DEDEDEDEDET!!!”

Suara tembakan otomatis langsung berdesing. Ribuan peluru dimuntahkan dalam hanya waktu beberapa detik, menghancurkan semua yang ada. Para Flufffy itupun tewas tertembak seluruhnya. Tubuh mereka tercabik-cabik peluru, tak terkecuali Cicil yang akhirnya tewas memeluk jenazah kekasihnya.

Setelah itu, suasana berubah menjadi sunyi. Lampu sorot yang membutakan mata tadi akhirnya dimatikan.

Bagus mendongak begitu mendengar suara baling-baling helikopter itu mulai terbang menjauh.

“Ku … kurasa kita aman …” Bagus melepaskan Fira dari dekapannya. Mereka berduapun berdiri di antara puing-puing itu dan melihat keadaan.

“Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?” isak Fira.

“Paling tidak sekarang kita aman. Semua anggota geng itu sudah tewas.” kata Bagus, “Kurasa kita sekarang ke tempatmu saja untuk merawat luka-lukaku.”

Matanya tertuju pada sosok bertopeng putih yang tengah terbaring di tengah ruangan. Bagus segera beranjak untuk memeriksa keadaannya.

“Di … dia masih hidup!” Bagus terkejut, lalu segera membopong tubuhnya.

“A … apa yang Kak Bagus lakukan?” tanya Fira dengan heran. “Dia kan baru saja berusaha membunuh Kakak?”

“Kita tak bisa membiarkannya di sini. Ayo, kita obati dia!”

***

“DASAR GENERASI MICIN! JANGAN KABUR KALIAN!” para guru menggila dan mengejar Sandi serta Lia di tengah lapangan bola. Tiba-tiba saja terdengar suara tembakan peringatan. Langkah merekapun terhenti.

“Apa yang terjadi di sini?” Raga yang mendengar teriakan Aulia segera membantu mereka.

“Ka … kalian lagi?” tanyanya heran begitu melihat dua anak yang di awal Purge tadi dilihatnya berada di dalam bus. Dalam hati ia merasa lega mereka selamat. Namun ia juga merasa sedih karena hanya dua yang ia lihat, itu berarti sisanya telah tewas.

“Astaga, apa yang terjadi pada teman-teman kalian?” perhatian Raga kemudian beralih pada para guru yang tengah memegang berbagai senjata tajam, “Kalian guru kan? Seharusnya kalian melindungi murid kalian!”

“Ini adalah The Purge! Kami bebas melakukan apa yang kami mau!” bela Pak Yuga, “Kau sebaiknya minggir!”

“Dia benar, Raga!” Bewa kemudian datang, “Biarkan mereka berbuat semau mereka!”

“Tidak! Kali ini aku takkan tinggal diam!” tolak Raga, “Tetap saja salah membiarkan remaja-remaja tak berdosa ini terbunuh! Mereka adalah generasi harapan bangsa ini!”

“Kau melanggar hukum, Raga!” ujar Bewa dengan marah, “Hukum mewajibkan kita sebagai para LEGION mengawal pelaksanaaan The Purge supaya tak ada pelanggaran yang terjadi! Bukan untuk menolong mereka!”

“Benarkah begitu?” Raga justru menyeringai, “Kalau begitu, aku bisa melanggarnya, bukan? Bukankah di malam Purge, semua pelanggaran hukum diperbolehkan?”

“Apa kau bilang?” gerutu Bewa. Namun ia tak lagi bisa melarang adiknya. Paradoks itu memang berlaku.

“Sekarang, jauhi anak-anak ini!” Raga menodongkan senjatanya ke arah guru-guru itu. Merekapun mau tak mau mundur.

“Te … terima kasih, Pak Polisi!” ucap Sandi terbata-bata.

“A … AWAAAS!” jerit Aulia. Namun terlambat. Seorang guru matematika tiba-tiba menerkam Raga dari belakang dan menusuk punggungnya dengan ujung jangka raksasa yang biasa dipakai di papan tulis.

“AAAAARGH!”

“Ini kesempatan kita!” seru Pak Yuga, “Ayo maju!”

Para guru pun berusaha menyerang mereka. Seorang guru biologi menghantamkan mikroskop ke kepala Raga, sementara guru lain yakni guru TIK mengikatkan kabel USB ke lehernya, berusaha mencekiknya. Guru lain seperti guru Bahasa Indonesia memukulkan kamus KBBI yang amat tebal ke kepalanya supaya ia gegar otak dan guru kimia memecahkan silinder gelas ukur sehingga ujungnya menjadi tajam dan berusaha menikam Raga dengan senjata itu. Guru terakhir, yakni guru PKN berusaha membacakan pelajarannya dengan harapan Raga menjadi lengah dan tertidur.

“Le … lepaskan aku …” ujar Raga yang mulai kehilangan kesadaran.

“Kurang ajar!” melihat rekannya terluka, Bewa segera melawan dan menembakkan senjatanya ke arah guru-guru yang mengamuk bak zombie itu. Satu-persatu mereka mulai tumbang.

Bewa menoleh dan melihat seorang guru agama mengendap-endap di belakang Raga. Ia membuka kitab tebalnya dan di dalamnya, tersimpan sebuah pistol. Ia membidikkan senjata itu ke arah Raga dan …

“RAGA! AWAS!!!”

“DOR!!!”

Bewa segera melemparkan tubuhnya ke depan Raga untuk melindunginya. Akibatnya, peluru itu justru menembus dadanya.

“BEWA! TIDAAAAK!!!” seru Raga.

Sang guru kemudian berusaha membidik Raga kembali, namun …

“DOOOOOR!!!”

Guru itupun tumbang dengan luka tembak di kepalanya. Raga menoleh dan melihat Sandi memegang sebuah pistol yang masih berasap. Pistol itu adalah pistolnya yang tadi terjatuh ke rumput saat berkelahi dengan para guru.

“Kak! Bertahanlah!” Raga segera menghampiri kakaknya yang kini terkulai sekarat di atas tanah itu.”Ke … kenapa kau berusaha menolongku?”

“Pertanyaan bodoh macam apa itu?” Bewa terkekeh, “Tentu saja, kau adalah keluargaku satu-satunya … uhuk!”

Bewa memuntahkan darah, membuat Raga semakin panik.

“A … aku yang sama sekali tak mengerti … mengapa kau tak mau menerima The Purge …” bisik Bewa.

“A … apa maksudmu?”

Bewa tersenyum, walau ia sendiri nyaris dijemput ajal, “Du … dulu ketika kita masih kecil, ayah kita berlaku amat kejam. Kau mungkin tak ingat karena kau terlalu kecil, namun dulu Ia suka menyiksa ibu. Ia berjudi hingga menghabiskan harta keluarga kita. Ia juga kerap mabuk dan memukuliku. Hingga suatu hari, ia pulang dan mulai menendangi ibu kita yang tengah hamil tua. Ia keguguran malam itu dan nyawanya sendiripun nyaris tak tertolong …”

“Kak … kenapa kau ceritakan itu?” Raga mulai menangis, “Itu semua sudah berakhir kan semenjak rumah kita terbakar dan ayah meninggal?”

“Tidak … itu yang kuceritakan kepadamu, namun bukan begitu kejadiannya …” jelas Bewa, “Malam itu adalah malam Purge. Itu adalah satu-satunya kesempatanku … kesempatanku agar ia tak lagi menyiksa kita. Aku tahu … jika aku tak melakukannya … nyawamu pun bisa terancam …”

“Ja … jadi kau …”

“Ya, aku membunuh si tua bangka itu … itu adalah malam pertamaku … aku selalu ingat malam Purge pertamaku … semenjak itu aku ingin menjadi polisi karena aku ingin melindungi orang-orang seperti kita. Namun kenyataan berkata lain … kita melihat sendiri bagaimana mudahnya seorang penjahat bisa lepas dan bebas … hanya di malam Purge-lah … hanya di malam inilah keadilan bisa ditegakkan …” Bewa kembali memuntahkan darah.

“Kak, bertahanlah! Kumohon … jangan mati!”

“Terpujilah Republik Sosialis Indonesia …” Bewa membisikkan kata terakhirnya dengan sisa tenaganya, “Terpujilah … para … Founding … Father … kita …”

Kepalanya pun terkulai di pangkuan Raga.

“Kakak! TIDAAAAAK!!!” seru Raga di tengah keheningan malam.

“A … aku sangat berduka cita …” Sandi yang menyaksikan kejadian itu sampai kehabisan kata.

“Ka … kau juga terluka …” Aulia melihat darah segar masih mengucur dari luka di punggung Raga, “Kita harus segera membawamu ke rumah sakit!”

***

Para korban Purge bergelimpangan di tengah jalan. Beberapa masih hidup, beberapa sudah dijemput ajal, beberapa masih menggeliat menanti malaikat maut tiba.

Sebuah truk hitam berhenti. dari dalamnya, muncul sosok-sosok mengerikan … para suster dengan topeng wajah rusak dengan gerakan tubuh mereka yang tak normal. Mereka-lah suster Silent Hill yang selalu berkeliaran pada malam Purge.

Seorang pria misterius berjubah hitam dan bertopeng paruh burung, Sang Doctor Plague, menatap lautan manusia itu.

“Bawa mereka semua ke dalam truk!”

Di sana, ia menyiapkan pisau-pisau bedahnya.

Ia akan menikmati malam ini.

BERSAMBUNG


1 comment: