Halloween
is coming dan untuk menyambut bulan horor ini lagi-lagi gue kasi
rekomendasi film-film horor moncer buat kalian. Mulai dari buah karya
Stephen King, film thriller psikologis yang sarat plot twist, hingga
film sci-fi semuanya layak kalian simak untuk menemani Halloween ini.
Tanpa banyak bicara ini dia review film gue part yang kedua.
IN
THE TALL GRASS (2019)
Lagi-lagi
film Netflix yang menyadur kisah besutan Stephen King ke layar kaca
setelah “1922” yang pernah gue bahas juga. “In The Tall Grass”
menceritakan tentang sepasang kakak beradik yang mendengar pinta
tolong dari seorang bocah dari dalam rerumputan (rumputnya tinggi
banget btw). Ia mengatakan bahwa ia dan keluarganya sudah terjebak
selama berhari-hari di dalam rerumputan. Namun bagaimana mungkin?
Kedua saudara itupun masuk ke dalam sana dan akhirnya mengetahui
horor sesungguhnya: tak pernah ada yang bisa keluar dari dalam tempat
itu!
Stephen
King selalu bisa meramu premis yang simpel dan unik, seperti kejebak
di dalam padang rumput, menjadi sebuah cerita horor. Jelas ada
kekuatan misterius yang menjebak mereka di sana dan situasi menjadi
bertambah buruk ketika mereka bertemu dengan ayah sang bocah, yang
diperankan oleh si raja horor, Patrick Wilson.
Film ini
(seperti kebanyakan adaptasi Stephen King) ada hit dan missnya.
Hit-nya tentu twist tentang bagaimana “si rumput” ini menjebak
mereka dan ketika twist ini terungkap di pertengahan, hasilnya
benar-benar memuaskan. Namun sayang, film ini sebenarnya sudah cukup
berhasil jika selesai di pertengahan cerita sebab menurut gue, jalan
ceritanya yang aneh sudah menjadi daya pikat tersendiri. Separuh film
berikutnya menurut gue justru malah membosankan dan mudah ditebak.
Bahkan klimaksnya biasa-biasa aja menurut gue.
Ada
kejanggalan lain di film ini, yakni di dekat pertengahan cerita,
tiba-tiba muncul satu karakter baru yang tiba-tiba diperkenalkan
begitu aja. Gue nggak pernah sekolah film emang sih, tapi tetap saja
gue tahu teknik seperti sangat tidak direkomendasikan (termasuk dalam
menulis novel juga) karena terkesan seperti ini jadi kelemahan sang
penulis yang nggak bisa memperkenalkan tokohnya dengan benar. Masa
sih penulis sekaliber Stephen King bikin kesalahan semacam ini?
Ternyata benar firasat gue, tokoh yang diperkenalkan di tengah-tengah
ini ternyata adalah tokoh tambahan yang aslinya nggak ada di novel
aslinya. Dan menurut gue, tokoh ini sebenarnya nggak perlu dan hanya
digunakan penulisnya untuk nambah-nambahin konflik dan menyusun
“happy ending” di akhir cerita.
Agak
conflicting sih, soalnya dari awal sampai pertengahan film ini cukup
engaging dan menurut gue akan berhasil sebagai sebuah film pendek.
Namun “keanehan” film ini yang gue bilang tadi jadi daya tarik
utamanya, justru jelas dirusak oleh plot-plot klise yang terjadi di
pertengahan hingga akhir film.
Sekedar
saran dari gue, tonton saja film ini sampai menit ke-33. Plot cerita
berikutnya gue rasa agak dipaksakan, walaupun ada sih bagian-bagian
yang bagus. Gue kasih film ini skor 3 CD berdarah.
FRACTURED
(2019)
Netflix
kali ini kembali memberi kejutan dengan merilis film psychological
thriller yang menurut gue sangat recommended di bulan Oktober ini.
Film “Fractured” ini dibintangi Sam Worthington awalnya sih nama
ini bikin gue kaget karena gue tahu banget dia sebagai aktor ngetop
yang bermain di film box office semacam “Avatar” hingga “Clash
of Titans”. Tumben banget dia main film Netflix, horor lagi.
Film ini
bercerita tentang Ray, seorang pria yang tengah berkendara bersama
istri dan anak perempuannya seusai pesta Thanksgiving di rumah
mertuanya. Ketika berada di pom bensin, anaknya tanpa sengaja
mengalami kecelakaan sehingga ia mengantar mereka ke rumah sakit.
Namun anehnya, pagi berikutnya ia sama sekali tak bisa menemukan
istri dan anaknya yang dirawat di sana. Bahkan pihak rumah sakit
menyatakan tak mengenal mereka. Apakah yang terjadi sebenarnya?
Bisakah Ray menemukan keluarganya?
Secara
cerita, film ini mirip-mirip dengan filmnya Jodie Foster yang
berjudul “Flightplan” yang intinya sama, seorang ibu kehilangan
anaknya di dalam pesawat, sementara tak ada satupun kru pesawat yang
mengaku pernah melihat anaknya itu. Sebagai film psychological
thriller, film ini jelas berhasil. Mulai dari ketegangannya hingga
sisi psikologis, dimana kita sebagai pirsawan-pun dibuat meragukan
kewarasan Ray, diramu dengan apik. Apakah benar pihak rumah sakit
menculik dan menyembunyikan anak dan istri Ray demi tujuan yang
gelap? Ataukah sejak pertama anak dan istri Ray tak pernah ada dan
hanya khayalannya belaka?
Yang
jelas, jawaban dalam semua pertanyaan itu amat mengejutkan. Twist
demi twist terungkap sepanjang perjalanan cerita dan ketika plot
twist utama terungkap di ending, benar-benar bikin gue menganga. Bisa
gue bilang ini berkat foreshadowing-nya yang benar-benar rapi dan
mantap. This is clearly one of the best movies I've ever seen in
Netflix.
Gue kasi
film thriller ini skor 4,5 CD berdarah.
COHERENCE
(2013)
Membuat
film sci-fi dengan low budget? Apakah mungkin? Well, sutradara film
ini sudah membuktikannya. “Cohenrence” merupakan film sci-fi
independen yang bercerita tentang 4 pasangan suami istri yang tengah
makan malam. Namun ketika sebuah komet melintas di langit, konsep
ruang dan waktu di sekitar mereka mulai kacau dan mereka mulai sadar
bahwa mereka masuk ke dimensi paralel dengan “doppleganger”
mereka dari dunia lain berkeliaran.
Konsep
sci-fi di sini ditawarkan bukan dengan special effect yang canggih
dan memukau, namun dengan jalan cerita dan alur yang membingungkan
sekaligus cerdas. Ini jelas bukan jenis film yang bisa dipahami
dengan sekali nonton saja. Kita perlu menontonnya berkali-kali agar
benar-benar paham. Dan juga, sedikit pengetahuan tentang dasar teori
mekanika kuantum (at least tentang “Kucing Schrodinger”) dan
“String Theory” (teori fisika yang menyatakan keberadaan dunia
paralel) akan sangat membantu memahami film ini.
Film
low-budget ini juga punya keunikan sinematografinya yang berasa
“found-footage” padahal enggak (awalnya malah gue kira nanti plot
twist-nya ternyata ada kameramen misterius di sini yang mengintai
mereka, tapi ternyata enggak). Omong-omong soal plot twist, karena
temanya di sini adalah dimensi paralel dan mereka ketemu “kembaran
mereka” pastinya banyak plot twist di sana-sini (bahkan filmnya
terkesan kayak “time travel” pas gue pertama menontonnya dan
belum paham soal dimensi paralel). Namun tetap saja, plot twist ini
bakalan memaksa kalian berpikir (kalo nggak kalian nggak bakal paham
kalo itu plot twist).
Overall,
review gue sama dengan review Daffa, admin di situs “Tukang Review”
yang pertama kali menyarankan gue menonton film ini. Salah satu yang
gue setuju banget adalah pas dia menyarankan untuk nggak skip sedetik
pun di film ini sebab kehilangan satu scene atau satu dialog aja kita
mungkin nggak akan ngerti scene-scene (serta kejutan-kejutan)
berikutnya. Dan endingnya ... wow, endingnya simpel tapi sangat
mengena sekaligus cliffhanger banget. Kita di sini disuruh
menyimpulkan sendiri apa yang terjadi di endingnya, and that is
great!
Last but
not least, film yang memaksa kita berpikir keras buat paham jalan
ceritanya ini gue kasi 4 CD berdarah.Film ini memang jenius, namun
justru karena kecerdasan tingkat tingginya, film ini mungkin nggak
bisa dinikmati dan dipahami banyak orang.
THE
INVISIBLE GUEST (2016)
Film ini
adalah debut kedua sutradara asal Spanyol, Oriol Paulo setelah “The
Body” atau “El Cuerpo” sebuah film thriller psikologis yang
menurut gue sangat apik dan pernah gue bahas juga reviewnya di blog.
Karena gue puas banget dengan film itu, maka gue nggak ragu untuk
menyaksikan film “Invisible Guest” ini karena tahu dibesut oleh
sutradara yang udah terbukti kemampuannya. Dan tak jauh berbeda
dengan film “The Body”, film ini juga bergenre thriller
psikologis dengan plot twist yang bertubi-tubi dan mencengangkan.
Film ini
bercerita tentang seorang pengusaha muda sukses bernama Adrian yang
dituduh membunuh kekasih gelapnya di dalam hotel. Kala mayatnya
ditemukan, hanya ada mereka berdua di kamar yang terkunci dari dalam.
Siapa sang pembunuh yang sebenarnya? Benarkan ada “tamu tak
terlihat” (seperti judul filmnya) di kamar itu yang menjadi dalang
kejahatan itu dan bagaimana dia lolos? Untuk membebaskan diri dari
tuduhan pembunuhan itu, Adrian terpaksa harus bersedia menguak
rahasia masa lalu yang selama ini dipendamnya.
Seperti
gue bilang, film-film Orion Paulo selalu mengandalkan jalan cerita
yang berliku-liku dan penuh plot twist. Dan uniknya lagi, seperti
film pertamanya, sudut pandangnya diambil dari tokoh utama yang bisa
dibilang bukan orang suci seperti protagonis kebanyakan, namun
menyimpan skandal yang kelam. Dan plot twist pada endingnya .... wow
benar-benar membuat gue terbang ke alam yang ketujuh hehehe. Unik
sekali dengan tokoh yang sedikit (hence hanya sedikit orang yang
menjadi tersangka) dia tetap dapat membuat ending yang sama sekali
tidak kita duga sebelumnya. Jalan ceritanya pun jelas tidak bisa
ditebak, walaupun mungkin kita sejak awal sudah membuat teori2
tentang apa yang sesungguhnya terjadi (apa cuman gue ya?).
Akhir
kata, gue kasi film ini skor 4,5 CD berdarah atas kepiawaian
sutradara ini meramu jalan cerita yang twisty, penuh misteri, dan
juga memuaskan hasrat pecinta cerita detektif seperti gue ini. Gue
harap karir Orion akan semakin maju, memproduksi hasil-hasil karya
lain, atau bahkan masuk ke bisnis perfilman Hollywood. Yang itu jelas
gue tunggu-tunggu.
Yep, saya udah nonton semua
ReplyDeleteTrus gmn ham menurut lu?
Deletekalau saya sih bang. dari rentetan film diatas, yang paling ngena mungkin masih coherence. soalnya semisal diambil perbandingan, blowing "FRACTURED" memang lebih ke insanity aja. sedangkan"Coherence" blown nya lebih ke mind expansion. konsep dunia pararel masih mungkin secara 'teori pengetahuan' ilmuan sekarang.
Deleteuntuk The Tall Grass dan Invisible Guest, yah secara alur oke sih.. tapi kalau bagi saya, Masterpiece nya tetap Coherence,
.
oh iya, kemarin saya nonon "Every Time I Die" bang. bagus juga buat tontonan, alurnya juga bikin mindblowing.
udah nonton semua dan bagus2 memang
ReplyDeleteUdah nonton coherence brp kali bang?
ReplyDelete