Tuesday, October 29, 2019

THE FALLEN KINGDOM: MISTERI PEMBUNUHAN MASSAL KELUARGA KERAJAAN NEPAL




Pada 1 Juni 2001 malam, Raja Nepal mengadakan sebuah banquet (pesta makan malam) bersama keluarga dekatnya: para anggota keturunan darah biru dari Dinasti Shah yang telah menguasai kerajaan kecil itu selama 300 tahun. Nepal merupakan monarki kecil di Asia Timur yang cukup adem ayem dan bisa dibilang jauh dari pertumpahan darah. Namun malam itu, pukul 9 malam, para penjaga yang tengah berjaga di luar mendengar suara tembakan bertubi-tubi. Dengan panik mereka masuk dan menemukan pemandangan mengerikan yang takkan pernah mereka lupakan.

Aula dimana resepsi mewah itu diadakan kini bermandikan darah. Sang raja tergeletak dengan luka menganga di kepalanya, tewas seketika. Istrinya, sang ratu Nepal, mengalami nasib serupa, begitu pula putri dan anak bungsunya. Sang pangeran, putra mahkota kerajaan itu, tergeletak tak sadarkan diri dengan luka tembakan di kepalanya, namun masih hidup, menghela napas yang setiap saat bisa menjadi yang terakhirnya. Tak jauh dari situ, di tengah mayat-mayat anggota keluarga kerajaan lain yang bergelimpangan, seorang putri berhasil selamat, memangku putranya yang kini terluka. Namun tak ada seorangpun yang masuk ke dalam ruangan itu, mengingat penjagaan yang begitu ketat di luar. Siapakah pelaku pembunuhan itu? Mustahil ia bisa menyelinap menembus dinding istana dan menghilang begitu saja, kecuali jika ia makhluk tak kasat mata.

Sebuah senjata api yang masih berasap ditemukan tergeletak di lantai aula yang kini bersimbah darah itu, membuat para penjaga menarik kesimpulan yang mengerikan tentang apa yang terjadi malam itu; di malam dimana seluruh darah keturunan royal family Nepal terhapus dari jagad ini.

Dear readers, inilah Dark Case kali ini.


Kerajaan Gorkha, beginilah Nepal dipanggil pada masa lalunya, ketika Dinasti Shah akhirnya mempersatukan kerajaan Kathmandu, Patan, dan Bhaktapur yang saling berperang pada tahun 1768. Semenjak itu, keturunan keluarga kerajaan Nepal menikmati status sebagai kasta tertinggi di negeri mungil itu. Dihormati dan dipuja bak dewa oleh penduduk tanah kelahiran Buddha tersebut, Dinasti Shah mengumpulkan pundi-pundi kekayaan yang tak terbilang banyaknya. Istana-istana indah mereka dirikan dan pesta-pesta mewah pun mereka adakan untuk menjamu keluarga dan tamu-tamu mereka.

Namun pada tahun 1990, rakyat Nepal mulai bergejolak. Dicekam oleh kemiskinan kala itu, penduduk Nepal mulai sadar akan ketimpangan sosial dan ekonomi yang mereka rasakan. Gerakan demonstrasi pun muncul di Kathmandu kala itu, menentang sistem monarki yang bercokol di negara mereka selama ratusan tahun. Raja Birendra yang kala itu memegang tampuk kekuasaan akhirnya setuju untuk mengakhiri sistem monarki absolut dan mengubah Nepal menjadi negara demokratis. Akan tetapi tetap, keluarga kerajaan Nepal diakui sebagai simbol negara yang musti dihormati dan Dinasti Shah tetap masih bisa berkuasa di Nepal.

Namun itu semua berakhir pada Juni 2001, ketika seluruh keturunan dinasti tersebut habis hanya satu malam. Apakah penyebabnya?

Kembali ke sosok Raja Birendra yang semakin dihormati oleh rakyatnya setelah ia berpihak pada mereka dan mengakhiri kekuasaan absolutnya sendiri demi kesejahteraan rakyat. Tak hanya sosok sang raja yang begitu dicintai warga, namun juga putra mahkotanya, yakni Pangeran Dipendra juga dipuja. Pangeran Dipendra mengenyam pendidikan Barat di Inggris, yang semakin mengukuhkan statusnya sebagai pemuda yang “sempurna” dan cerdas, sangat cocok sebagai raja Nepal yang baru.

Di Inggris, sang pangeran bertemu dengan sesama bangsawan, seorang wanita asal India bernama Devyani Rana. Akan tetapi sayang, bak kisah cinta Romeo dan Juliet, hubungan asmara mereka tak disetujui oleh keluarga kedua belah pihak. Pasalnya, Devyani berasal dari keturunan Dinasti Rana, penguasa Kerajaan Gwalior di utara India. Semenjak ratusan tahun, Dinasti Rana dan Dinasti Shah di Nepal bermusuhan satu sama lain. Ketika Pangeran Dipendra memberitahukan rencananya untuk melamar Devyani, ibunda Dipendra kala itu, yakni Ratu Aishwarya menentang keras rencana putranya tersebut. Ia bahkan mengancam akan mencabut status Pangeran Dipendra sebagai putra mahkota apabila ia bersikeras menikahinya.

Dipendra tak patah hati dan kembali menemui kekasihnya. Ia mengatakan bahwa demi membuktikan cintanya pada Devyani, ia rela melepaskan gelar putra mahkota dan kehilangan tahtanya. Namun bukannya tersanjung, jawaban Devyani sungguh mengejutkan. Dia mengatakan bahwa ia takkan menikahi Dipendra jika ia tak menjadi ratu Nepal. Dikecewakan oleh ibu dan kekasihnya sendiri, Dipendra pun kembali ke istananya.

Kembali ke malam naas itu di Juni 2001, sebuah pesta banquet tengah dirayakan di lantai bawah, namun di lantai atas, sang pangeran justru tengah mabuk di kamarnya. Mendengar suara pesta dan tawa para tamu, Pangeran Dipendra yang masih mengenakan pakaian kebesarannya mengambil senjata kesayangannya, kemudian menuruni tangga. Di sana ia masuk ke dalam aula dimana keluarganya tengah berpesta meriah bersama kerabat mereka. Total ada 13 orang di dalam aula tersebut.

Sang pangeran akhirnya datang dan semua orang menyambutnya. Namun di luar dugaan, Dipendra mengangkat senjatanya dan menembaki semua orang yang ada di situ, tak terkecuali kedua orang tuanya.

Raja Birendra dan Ratu Aishwarya tewas seketika diberondong tembakan. Tak luput dari amarahnya adalah kedua adiknya yang tak berdosa, Putri Shruti dan si bungsu, Pangeran Nirajan. Korban-korban lain adalah saudara-saudara dari sang raja yang juga kurang beruntung untuk hadir di pesta naas itu. Total sembilan orang dihabisinya malam itu.

Kemudian sebagai penutup, Pangeran Dinendra menembak kepalanya sendiri.

Beruntung (atau mungkin tidak), para penjaga yang menemukannya segera menyelamatkannya. Saat itu sang pangeran memang tidak langsung meninggal, namun sempat mengalami koma selama tiga hari. Namun ajal tetap menjemput sang pangeran itu yang kemudian menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit.

Kejadian itu hanya menyisakan empat orang penyintas, di antaranya Putri Komal, adik ipar dari Raja Binendra, dan putranya, Pangeran Paras. Namun malam itu, seluruh keturunan Dinasti Shah yang berhak atas tahta Nepal terhapus dari muka bumi. Setelah kematian Pangeran Dipendra, tak ada lagi yang berhak menerima tahta Nepal. Karena gentingnya situasi kala itu, Pangeran Gyanendra, adik dari mendiang Raja Dipendra diangkat menjadi raja untuk sementara. Namun tahtanya pun harus berakhir setelah terjadi perang sipil di Nepal.

Benarkah pembantaian keluarga kerajaan Nepal kala itu hanya disebabkan oleh kisah asmara berujung tragis dari sang pangeran yang tak direstui cintanya? Ataukah ada konspirasi lain?

Rakyat Nepal percaya bahwa seluruh kasus itu sebenarnya didalangi oleh Gyanendra yang kemudian memegang tampuk kekuasaan setelah Raja Binendra dan seluruh keturunan terhapus dari muka bumi. Sebagai adik raja, tentu ia takkan pernah bisa meraih tahta jika saja tragedi tersebut tak terjadi. Kecurigaan semakin memuncak karena entah kebetulan atau tidak, Gyanendra tidak hadir pada malam naas itu karena berada di luar kota. Istrinya, Putri Komal dan anaknya, Pangeran Paras, berada di banquet tersebut, namun hanya mengalami luka ringan yang tak mengancam jiwa, yang semakin memperuncing dugaan konspirasi tersebut. Untuk membela diri, Gyanendra balik menuduh pemerintah India dibantu CIA sebagai dalang di balik peristiwa ini untuk meruntuhkan monarki Nepal.

Mungkin memang benar peristiwa tragis ini tak hanya disebabkan oleh kisah cinta semata. Ada pula yang menduga Pangeran Dipendra sudah memendam kekecewaan pada ayahnya yang bersedia memenuhi tuntutan rakyat dan menghapus kekuasaan absolut di Nepal. Dengan demikian, impiannya untuk berkuasa sepenuhnya di negerinya sendiri pupuslah sudah dan gerak-geriknya harus dibatasi undang-undang serta demokrasi. Hal itu, menurut penganut teori konspirasi, bisa dengan mudah dipanas-panasi oleh Pangeran Gyanendra (jika memang ia dalangnya) sehingga tercetuslah peristiwa pesta berdarah tersebut.

Entah apa yang terjadi malam itu sesungguhnya, yang jelas semenjak itu monarki di Nepal jelas berakhir. Nasib mereka sama seperti dinasti-dinasti lain yang menemui nasib tragis, seperti kaisar wanita terakhir Korea yang dibunuh oleh tentara Jepang saat Perang Dunia II dan kaisar terakhir Tiongkok yang dijadikan tukang kebun setelah pemerintah Komunis menunggangbalikkan kekuasaannya. Nepal kini menjadi negara demokratis, namun tetap bukan surga, sebab seperti di negara kita, partai-partai politik melancarkan permainan mereka sendiri, bermusuhan dan bersekutu, semua demi meraup keuntungan pribadi.

Entah; mungkin nasib Nepal akan berbeda jika tragedi itu tak pernah terjadi dan pangeran muda mereka yang cerdas naik tahta. Atau justru jika sang pangeran terlahir sebagai rakyat biasa, mungkin ia akan bahagia hingga akhir hayatnya? Hanya Tuhan yang bisa menjawab.

Sumber: wikipedia

7 comments: