Pada 1
Juni 2001 malam, Raja Nepal mengadakan sebuah banquet (pesta makan
malam) bersama keluarga dekatnya: para anggota keturunan darah biru
dari Dinasti Shah yang telah menguasai kerajaan kecil itu selama 300
tahun. Nepal merupakan monarki kecil di Asia Timur yang cukup adem
ayem dan bisa dibilang jauh dari pertumpahan darah. Namun malam itu,
pukul 9 malam, para penjaga yang tengah berjaga di luar mendengar
suara tembakan bertubi-tubi. Dengan panik mereka masuk dan menemukan
pemandangan mengerikan yang takkan pernah mereka lupakan.
Aula
dimana resepsi mewah itu diadakan kini bermandikan darah. Sang raja
tergeletak dengan luka menganga di kepalanya, tewas seketika.
Istrinya, sang ratu Nepal, mengalami nasib serupa, begitu pula putri
dan anak bungsunya. Sang pangeran, putra mahkota kerajaan itu,
tergeletak tak sadarkan diri dengan luka tembakan di kepalanya, namun
masih hidup, menghela napas yang setiap saat bisa menjadi yang
terakhirnya. Tak jauh dari situ, di tengah mayat-mayat anggota
keluarga kerajaan lain yang bergelimpangan, seorang putri berhasil
selamat, memangku putranya yang kini terluka. Namun tak ada
seorangpun yang masuk ke dalam ruangan itu, mengingat penjagaan yang
begitu ketat di luar. Siapakah pelaku pembunuhan itu? Mustahil ia
bisa menyelinap menembus dinding istana dan menghilang begitu saja,
kecuali jika ia makhluk tak kasat mata.
Sebuah
senjata api yang masih berasap ditemukan tergeletak di lantai aula
yang kini bersimbah darah itu, membuat para penjaga menarik
kesimpulan yang mengerikan tentang apa yang terjadi malam itu; di
malam dimana seluruh darah keturunan royal family Nepal terhapus
dari jagad ini.
Dear
readers, inilah Dark Case kali ini.
Kerajaan
Gorkha, beginilah Nepal dipanggil pada masa lalunya, ketika Dinasti
Shah akhirnya mempersatukan kerajaan Kathmandu, Patan, dan Bhaktapur
yang saling berperang pada tahun 1768. Semenjak itu, keturunan
keluarga kerajaan Nepal menikmati status sebagai kasta tertinggi di
negeri mungil itu. Dihormati dan dipuja bak dewa oleh penduduk tanah
kelahiran Buddha tersebut, Dinasti Shah mengumpulkan pundi-pundi
kekayaan yang tak terbilang banyaknya. Istana-istana indah mereka
dirikan dan pesta-pesta mewah pun mereka adakan untuk menjamu
keluarga dan tamu-tamu mereka.
Namun
pada tahun 1990, rakyat Nepal mulai bergejolak. Dicekam oleh
kemiskinan kala itu, penduduk Nepal mulai sadar akan ketimpangan
sosial dan ekonomi yang mereka rasakan. Gerakan demonstrasi pun
muncul di Kathmandu kala itu, menentang sistem monarki yang bercokol
di negara mereka selama ratusan tahun. Raja Birendra yang kala itu
memegang tampuk kekuasaan akhirnya setuju untuk mengakhiri sistem
monarki absolut dan mengubah Nepal menjadi negara demokratis. Akan
tetapi tetap, keluarga kerajaan Nepal diakui sebagai simbol negara
yang musti dihormati dan Dinasti Shah tetap masih bisa berkuasa di
Nepal.
Namun
itu semua berakhir pada Juni 2001, ketika seluruh keturunan dinasti
tersebut habis hanya satu malam. Apakah penyebabnya?
Kembali
ke sosok Raja Birendra yang semakin dihormati oleh rakyatnya setelah
ia berpihak pada mereka dan mengakhiri kekuasaan absolutnya sendiri
demi kesejahteraan rakyat. Tak hanya sosok sang raja yang begitu
dicintai warga, namun juga putra mahkotanya, yakni Pangeran Dipendra
juga dipuja. Pangeran Dipendra mengenyam pendidikan Barat di Inggris,
yang semakin mengukuhkan statusnya sebagai pemuda yang “sempurna”
dan cerdas, sangat cocok sebagai raja Nepal yang baru.
Di
Inggris, sang pangeran bertemu dengan sesama bangsawan, seorang
wanita asal India bernama Devyani Rana. Akan tetapi sayang, bak kisah
cinta Romeo dan Juliet, hubungan asmara mereka tak disetujui oleh
keluarga kedua belah pihak. Pasalnya, Devyani berasal dari keturunan
Dinasti Rana, penguasa Kerajaan Gwalior di utara India. Semenjak
ratusan tahun, Dinasti Rana dan Dinasti Shah di Nepal bermusuhan satu
sama lain. Ketika Pangeran Dipendra memberitahukan rencananya untuk
melamar Devyani, ibunda Dipendra kala itu, yakni Ratu Aishwarya
menentang keras rencana putranya tersebut. Ia bahkan mengancam akan
mencabut status Pangeran Dipendra sebagai putra mahkota apabila ia
bersikeras menikahinya.
Dipendra
tak patah hati dan kembali menemui kekasihnya. Ia mengatakan bahwa
demi membuktikan cintanya pada Devyani, ia rela melepaskan gelar
putra mahkota dan kehilangan tahtanya. Namun bukannya tersanjung,
jawaban Devyani sungguh mengejutkan. Dia mengatakan bahwa ia takkan
menikahi Dipendra jika ia tak menjadi ratu Nepal. Dikecewakan oleh
ibu dan kekasihnya sendiri, Dipendra pun kembali ke istananya.
Kembali
ke malam naas itu di Juni 2001, sebuah pesta banquet tengah dirayakan
di lantai bawah, namun di lantai atas, sang pangeran justru tengah
mabuk di kamarnya. Mendengar suara pesta dan tawa para tamu, Pangeran
Dipendra yang masih mengenakan pakaian kebesarannya mengambil senjata
kesayangannya, kemudian menuruni tangga. Di sana ia masuk ke dalam
aula dimana keluarganya tengah berpesta meriah bersama kerabat
mereka. Total ada 13 orang di dalam aula tersebut.
Sang
pangeran akhirnya datang dan semua orang menyambutnya. Namun di luar
dugaan, Dipendra mengangkat senjatanya dan menembaki semua orang yang
ada di situ, tak terkecuali kedua orang tuanya.
Raja
Birendra dan Ratu Aishwarya tewas seketika diberondong tembakan. Tak
luput dari amarahnya adalah kedua adiknya yang tak berdosa, Putri
Shruti dan si bungsu, Pangeran Nirajan. Korban-korban lain adalah
saudara-saudara dari sang raja yang juga kurang beruntung untuk hadir
di pesta naas itu. Total sembilan orang dihabisinya malam itu.
Kemudian
sebagai penutup, Pangeran Dinendra menembak kepalanya sendiri.
Beruntung
(atau mungkin tidak), para penjaga yang menemukannya segera
menyelamatkannya. Saat itu sang pangeran memang tidak langsung
meninggal, namun sempat mengalami koma selama tiga hari. Namun ajal
tetap menjemput sang pangeran itu yang kemudian menghembuskan napas
terakhirnya di rumah sakit.
Kejadian
itu hanya menyisakan empat orang penyintas, di antaranya Putri Komal,
adik ipar dari Raja Binendra, dan putranya, Pangeran Paras. Namun
malam itu, seluruh keturunan Dinasti Shah yang berhak atas tahta
Nepal terhapus dari muka bumi. Setelah kematian Pangeran Dipendra,
tak ada lagi yang berhak menerima tahta Nepal. Karena gentingnya
situasi kala itu, Pangeran Gyanendra, adik dari mendiang Raja
Dipendra diangkat menjadi raja untuk sementara. Namun tahtanya pun
harus berakhir setelah terjadi perang sipil di Nepal.
Benarkah
pembantaian keluarga kerajaan Nepal kala itu hanya disebabkan oleh
kisah asmara berujung tragis dari sang pangeran yang tak direstui
cintanya? Ataukah ada konspirasi lain?
Rakyat
Nepal percaya bahwa seluruh kasus itu sebenarnya didalangi oleh
Gyanendra yang kemudian memegang tampuk kekuasaan setelah Raja
Binendra dan seluruh keturunan terhapus dari muka bumi. Sebagai adik
raja, tentu ia takkan pernah bisa meraih tahta jika saja tragedi
tersebut tak terjadi. Kecurigaan semakin memuncak karena entah
kebetulan atau tidak, Gyanendra tidak hadir pada malam naas itu
karena berada di luar kota. Istrinya, Putri Komal dan anaknya,
Pangeran Paras, berada di banquet tersebut, namun hanya mengalami
luka ringan yang tak mengancam jiwa, yang semakin memperuncing dugaan
konspirasi tersebut. Untuk membela diri, Gyanendra balik menuduh
pemerintah India dibantu CIA sebagai dalang di balik peristiwa ini
untuk meruntuhkan monarki Nepal.
Mungkin
memang benar peristiwa tragis ini tak hanya disebabkan oleh kisah
cinta semata. Ada pula yang menduga Pangeran Dipendra sudah memendam
kekecewaan pada ayahnya yang bersedia memenuhi tuntutan rakyat dan
menghapus kekuasaan absolut di Nepal. Dengan demikian, impiannya
untuk berkuasa sepenuhnya di negerinya sendiri pupuslah sudah dan
gerak-geriknya harus dibatasi undang-undang serta demokrasi. Hal itu,
menurut penganut teori konspirasi, bisa dengan mudah dipanas-panasi
oleh Pangeran Gyanendra (jika memang ia dalangnya) sehingga
tercetuslah peristiwa pesta berdarah tersebut.
Entah
apa yang terjadi malam itu sesungguhnya, yang jelas semenjak itu
monarki di Nepal jelas berakhir. Nasib mereka sama seperti
dinasti-dinasti lain yang menemui nasib tragis, seperti kaisar wanita
terakhir Korea yang dibunuh oleh tentara Jepang saat Perang Dunia II
dan kaisar terakhir Tiongkok yang dijadikan tukang kebun setelah
pemerintah Komunis menunggangbalikkan kekuasaannya. Nepal kini
menjadi negara demokratis, namun tetap bukan surga, sebab seperti di
negara kita, partai-partai politik melancarkan permainan mereka
sendiri, bermusuhan dan bersekutu, semua demi meraup keuntungan
pribadi.
Entah; mungkin
nasib Nepal akan berbeda jika tragedi itu tak pernah terjadi dan
pangeran muda mereka yang cerdas naik tahta. Atau justru jika sang pangeran terlahir sebagai rakyat
biasa, mungkin ia akan bahagia hingga akhir hayatnya? Hanya Tuhan yang bisa menjawab.
Sumber: wikipedia
Pagan min
ReplyDeleteEh maksudnya apa? 🤔
DeleteAnjer, itu mah Kyrat wkwk
DeleteOalah game ya😅😅
Deletefar cry :v
Deletemantap bang ceritanya,, baru tau ada cerita begini
ReplyDeleteWih, beraca baca novel :( terlalu tragis untuk menjadi nyata :(
ReplyDelete