5. THE PERFECTION
(2019)
Dirilisnya film “The
Perfection” di Netflix tahun ini disertai banyak kehebohan dan
kontroversi, katanya film ini membuat banyak pemirsanya merasa “mual,
jijik, dan sakit”. Yap emang banyak adegan-adegan yang bikin nggak
nyaman di film ini, makanya gue peringatin dulu sebelum kalian
memutuskan menontonnya. Namun jika kalian berani menyaksikannya, maka
kalian akan mendapatkan kepuasan dari film horor yang menurut gue
adalah salah satu yang terbaik tahun ini, apalagi jika kalian
bertahan melihat semua “kejijikan” di film ini (don't worry,
cuman ada di paruh pertama film kok).
Film ini menceritakan dua
orang pemain cello berbakat yang lulus dari sebuah akademi musik
ternama. Mereka berdua kemudian jatuh cinta, namun di perjalanan
mereka ke pedesaan Tiongkok salah satu dari mereka jatuh sakit dan
hal-hal gila pun terjadi. Perlu gue ingatkan, dua karakter utama ini
sama-sama perempuan, jadi bisa ditebak film ini mengeksplore
lesbianisme. Biasanya sih gue nggak terlalu betah ama film-film
bertema kontroversial seperti ini, tapi ternyata dua tokoh lesbian
ini nggak hanya ditaruh cuman buat pelampiasan demam equal rights
untuk LGBT alias “SJW” yang lagi marak bergaung di dunia Barat.
Lesbianisme di sini amat berkaitan erat dengan plot dan jalan cerita
film ini, bahkan disimpulkan dengan kuat di ending cerita.
Jika adegan lesbian udah
membuat kalian nyaman, just be ready, itu hanya permulaan. Masih ada
adegan muntah, pup (cuman dialog sih, tapi bener-bener bikin gue
“mengernyit” dalam benak), hingga belatung dan serangga yang
merayap. Namun nggak hanya bagian yang “gory” saja yang menantang
di film ini, namun juga berbagai plot twist yang bertubi-tubi dan
seakan nggak ada habis-habisnya.
Film ini memang memiliki
plot twist yang amat kuat, nggak cuman satu bahkan, melainkan banyak.
Malah di pertengahan awal cerita, plot twist itu sudah disajikan
dengan mantap. Awalnya gue pikir, nggak kecepatan nih plot twistnya,
bagusnya di akhir. Namun ternyata begitu cerita bergulir, masih ada
plot twist lain yang nggak kalah mengejutkan disajikan satu demi
satu.
Film ini emang keren,
revolusioner bahkan menurut gue, dan sesuai dengan judulnya, film ini
adalah sebuah “perfection” atau kesempurnaan. Gue nggak ragu-ragu
memberikan nilai 5 CD berdarah buat film ini. Cuman lagi-lagi, nggak
semua orang mungkin bisa menikmati film ini.
6. SUSPIRIA (1977)
“Suspiria” adalah film
lawas legendaris yang dirilis pada tahun 1977 dan dibesut oleh
sutradara Italia kenamaan bernama Dario Argento. Begitu tahu ini film
jadul mungkin merasa ilfil ya. Namun jangan salah, walaupun dibuat 40
tahun yang lalu, film ini benar-benar sebuah pure art form. Tiap
detail koreografi dan sinematografinya benar-benar indah. Settingnya
benar-benar artistik, dimulai dari bangunan berdesain arsitektur
indah di Eropa hingga kamar apartemen dengan background wallpaper
yang menarik mata, Dario Argento benar-benar habis-habisan dalam
menunjukkan sisi ekspresifnya dalam hal seni di film ini.
Namun yang tak kalah
penting, nggak hanya visual film ini enak dilihat, adegan-adegannya
juga bisa dibilang sadis dan brutal. Dalam hal kengerian, film ini
amat jempolan dan berdarah, amat kontras dengan visualnya yang indah
dan artistik.
Cerita “Suspiria”
cukup sederhana, yakni seorang penari asal Amerika yang diterima di
sebuah akademi tari yang bergengsi di Jerman. Namun setelah kematian
brutal para penari di akademi tersebut, ia mulai curiga bahwa tempat
itu dikelola oleh sekelompok penyihir yang sadis. Salah satu adegan
legendaris yang nggak bisa dilupakan justru pada adegan-adegan awal
ketika dua penari dibunuh dengan cara yang amat brutal dan bikin gue
mengernyit ngeri.
Yang unik, darah untuk
properti di film ini dibuat dengan warna merah cerah, yang walaupun
nggak realistis dan kelihatan banget seperti cat, namun menambah sisi
artistik dan juga memaksimalkan kengerian di tiap adegannya. Bahkan
adegan-adegan simpel ketika para penari ini harus tidur di bangsal
dengan dipisahkan kain putih saja sudah membuat ngeri, padahal tidak
ada penampakan mengerikan di adegan tersebut.
Tetap saja, gue nggak mau
memuji terlalu jauh dan harus mengkritik beberapa hal, seperti
ceritanya yang terlalu simpel dan kurang mendalam (semisal mereka
adalah penari tapi adegan tarinya malah dikit banget) dan endingnya
yang kelewatan kebetulan dan enak banget (masa iya penyihir utamanya
gampang banget dikalahin).
Film ini merupakan yang
pertama dari trilogi “Three Mothers” dan diikuti oleh “Inferno”
dan “Mother of Tears”. Ketiganya menceritakan tiga penyihir utama
dimana yang pertama adalah “Mother of Sighs” atau “Suspiria”,
hence judulnya. Gue belum liat dua sekuelnya sih, tapi gue tertarik
karena katanya nggak kalah brutal.
Berapa nilai yang gue
kasih untuk film ini? Cukup 4 CD berdarah.
7. SUSPIRIA (2018)
Mungkin ada readers yang
protes, “Lho kok Suspiria ada lagi? Tadi kan udah?” Tenang,
tenang, ini adalah remake-nya yang dibuat pada tahun 2019, masih
dengan sutradara asal Italia Luca Guadagnino dan artis Dakota Johnson
yang mungkin kalian ingat pernah bermain di trilogi “Fifty Shades”
yang kontroversial (ya ampun film apa sih itu admin sama sekali nggak
pernah denger dan nggak pernah nonton itu film apaan, temanya tentang
apaan aja gue nggak paham). Well anyway, apakah remake film ini lebih
bagus atau malahan kurang ketimbang pendahulunya? Mari disimak
reviewnya.
Nah, film ini menceritakan
seorang cewek polos yang bertemu dengan seorang pemuda kaya misterius
yang gemar akan BD … eh, sorry salah sinopsis hehehe. Film ini
masih memiliki benang merah yang sama dengan film pendahulunya, yakni
seorang gadis asal Amrik yang belajar ke sebuah akademi tari di Eropa
hanya untuk mengetahui bahwa akademi itu dijalankan oleh sekelompok
penyihir yang kejam.
Sama seperti film versi
1977-nya, banyak adegan-adegan kejam dan sadis diperlihatkan di film
ini, namun bedanya tentu terletak pada tone-nya. Jika versi aslinya
sangatlah artistik, maka film ini justru kebalikannya, amat kelam
kayak “Fifty Shades” eh, maksudnya amat kelam dan gelap (banyak
adegannya hampir monokromatis alias dominan abu-abu ketimbang versi
aslinya yang penuh warna menyolok) karena emang ingin lebih menyoroti
kondisi Jerman pasca Perang Dunia II.
Adegan kematiannya juga
berbeda dengan versi aslinya. Gue pikir karena ini remake maka adegan
kematian karakternya juga akan meniru versi yang asli, namun ternyata
tidak. Karakter sang tokoh utama juga diperdalam dengan menjelaskan
masa lalunya. Namun, perubahan yang paling gue sukai dari film ini
adalah endingnya! Plot twist di endingnya inilah yang benar-benar
membedakan film ini dengan film pendahulunya tahun 1977. Endingnya
bener-bener all out brutalnya dan lebih seru (serta masuk akal)
ketimbang ending film lawasnya.
Akan tetapi, jika
memperhatikan sisi artistik yang banyak berkurang di film ini, gue
bisa mengatakan film ini nggak lebih bagus ataupun lebih jelek
daripada film pertama. Kelebihan film pertama nggak dimunculkan di
film ini, namun kekurangan film pertama juga diperbaikin di film ini.
Maka dari itu, gue kasih film ini skor yang sama dengan pendahulunya,
yakni 4 CD berdarah.
8. VELVET BUZZSAW
(2019)
Nah ini dia salah satu
film favorit gue di tahun ini dan gue harus katakan, gue menonton
film ini awal tahun 2019 dan jujur, itu menjadi pengalaman yang amat
menyenangkan dalam membuka tahun tersebut. Film Netflix original ini
diperankan oleh Jake Gylenhaal yang biasanya jarang banget berperan
di film horor (terakhir adalah Donny Darko jika kalian menghitungnya
sebagai film horor). Tentu aktor kelas kakap seperti Jake nggak akan
main di film horor sembarangan. Makanya gue sudah menduga bahwa
cerita film ini bakalan “berkelas” dan dugaan gue benar.
“Velvet Buzzsaw”
menyorot ke dalam dunia seni rupa yang jarang banget diekspose oleh
Hollywood. Dalam dunia art ada yang namanya seni instalasi (seperti
yang ada di museum di Bandung yang heboh gara-gara plagiasi beberapa
waktu lalu) yang lebih mengutamakan pengalaman para penikmatnya
ketika menyaksikan atau berinteraksi dengan karya seni tersebut.
Karena mementingkan pengalaman tiap orang yang bisa berbeda-beda
tergantung pemahaman orang tersebut, maka karya seni instalasi ini
nggak mudah dimengerti maknanya.
Karya seni instalasi ini
juga bisa laku dijual hingga jutaan dollar karena ada kolektor tajir
yang rela mengeluarkan duit bergepok-gepok demi memilikinya (karena
karya itu hanya satu di dunia). Karena itu, para seniman yang membuat
seni instalasi harus memilih di antara dua jalan: apakah mereka ingin
menjadi seniman idealis yang benar-benar murni mengekspresikan hasrat
seni mereka, ataukah mereka ingin mengorbankan idealisme itu untuk
membuat karya seni yang komersil demi meraup pundi-pundi harta.
Ironisnya, ada orang-orang (termasuk para distributor dan orang-orang
yang menyebut dirinya”kritikus seni”) ikut bermain di sana dan
mengambil keuntungan dari hal itu.
Kenapa gue jelasin panjang
lebar hal ini? Karena tema inilah yang akan dibahas di film “Velvet
Buzzshaw”. Film ini menceritakan Jake yang bermain sebagai kritikus
seni bernama Morf dan kekasihnya, Josephina, seorang artis muda yang
tengah struggle. Suatu hari Josephina menemukan karya seni berupa
lukisan milik seseorang yang sudah meninggal dan mengakuinya sebagai
karyanya. Yang ia tak tahu, lukisan itu ternyata mengandung kutukan
yang akan membunuh siapapun melalui “karya-karya seni” di
sekitarnya. Jadi, tokoh-tokoh yang ada di film ini nantinya akan
dibunuh oleh karya seni apapun yang berada di dekat mereka.
Konsep film ini amat baru
dan fresh, belum lagi film ini juga mengulas dunia seni yang jarang
banget dibahas di film-film horor lain (mungkin malah ini baru yang
pertama). Kita juga bisa membedakan mana tokoh yang idealis dan mana
yang licik dan komersil. Tokoh yang idealis biasanya selamat, namun
sosok yang mengutamakan ketamakan dan uang nantinya akan menemukan
karma yang setimpal. Cara-cara membunuhnya juga tergolong amat
kreatif.
Film ini juga agak
mencampurkan genre komedi dalam ceritanya, tapi lebih ke komedi
satire sih. Semisal salah satu tewas karena sebuah karya seni
instalasi, namun nggak ada yang menyadarinya dan menganggap mayatnya
sebagai bagian dari karya seni instalasi tersebut. Ada juga adegan
salah satu tokoh menyangka plastik berisi sampah sebagai sebuah karya
seni instalasi juga.
Tapi gue nggak menyalahkan
kalian jika kalian sulit menikmati film ini. Buat yang nggak
menggemari seni dan nggak punya background di bidang itu, tentu akan
menganggap film ini membosankan dan biasa-biasa aja. Tapi buat yang
paham akan makna yang ingin disampaikan film ini, film ini adalah
sebuah masterpiece. Apalagi twist di endingnya bener-bener bikin gue
geregetan.
Akhir kata, gue kasih
nilai sempurna alias 5 CD berdarah buat film ini. Mungkin kalian
nggak sependapat, namun film ini layak kalian coba.
Bukan bermaksud nge-judge Bang Dave, tapi film Suspiria yg jadul pasti akan sempurna jika setiap adegan horor atau gorenya tidak ditambahkan musik atau lagu yang keras. karena menurut gw itu justru merusak nuansa horornya
ReplyDeleteMungkin emang gaya film jadul ala 80an emang gitu sih, jadi nggak bisa disalahin jg hahaha
DeleteGw udah nonton ne bang yg The Perfection,, menurut gw yg adegan muntah, serangga, dll it gak terlalu ji2k , yg paling ji2k it adegan lesbian mereka.. Eww bgt!!
ReplyDeleteBang bikin review film fifty shades of grey dong kok kayaknya demen banget😂
ReplyDelete