Wednesday, October 2, 2019

REVIEW FILM PART 8: CRAZY HORROR MOVIES!


5. THE PERFECTION (2019)


Dirilisnya film “The Perfection” di Netflix tahun ini disertai banyak kehebohan dan kontroversi, katanya film ini membuat banyak pemirsanya merasa “mual, jijik, dan sakit”. Yap emang banyak adegan-adegan yang bikin nggak nyaman di film ini, makanya gue peringatin dulu sebelum kalian memutuskan menontonnya. Namun jika kalian berani menyaksikannya, maka kalian akan mendapatkan kepuasan dari film horor yang menurut gue adalah salah satu yang terbaik tahun ini, apalagi jika kalian bertahan melihat semua “kejijikan” di film ini (don't worry, cuman ada di paruh pertama film kok).

Film ini menceritakan dua orang pemain cello berbakat yang lulus dari sebuah akademi musik ternama. Mereka berdua kemudian jatuh cinta, namun di perjalanan mereka ke pedesaan Tiongkok salah satu dari mereka jatuh sakit dan hal-hal gila pun terjadi. Perlu gue ingatkan, dua karakter utama ini sama-sama perempuan, jadi bisa ditebak film ini mengeksplore lesbianisme. Biasanya sih gue nggak terlalu betah ama film-film bertema kontroversial seperti ini, tapi ternyata dua tokoh lesbian ini nggak hanya ditaruh cuman buat pelampiasan demam equal rights untuk LGBT alias “SJW” yang lagi marak bergaung di dunia Barat. Lesbianisme di sini amat berkaitan erat dengan plot dan jalan cerita film ini, bahkan disimpulkan dengan kuat di ending cerita.

Jika adegan lesbian udah membuat kalian nyaman, just be ready, itu hanya permulaan. Masih ada adegan muntah, pup (cuman dialog sih, tapi bener-bener bikin gue “mengernyit” dalam benak), hingga belatung dan serangga yang merayap. Namun nggak hanya bagian yang “gory” saja yang menantang di film ini, namun juga berbagai plot twist yang bertubi-tubi dan seakan nggak ada habis-habisnya.

Film ini memang memiliki plot twist yang amat kuat, nggak cuman satu bahkan, melainkan banyak. Malah di pertengahan awal cerita, plot twist itu sudah disajikan dengan mantap. Awalnya gue pikir, nggak kecepatan nih plot twistnya, bagusnya di akhir. Namun ternyata begitu cerita bergulir, masih ada plot twist lain yang nggak kalah mengejutkan disajikan satu demi satu.

Film ini emang keren, revolusioner bahkan menurut gue, dan sesuai dengan judulnya, film ini adalah sebuah “perfection” atau kesempurnaan. Gue nggak ragu-ragu memberikan nilai 5 CD berdarah buat film ini. Cuman lagi-lagi, nggak semua orang mungkin bisa menikmati film ini.




6. SUSPIRIA (1977)


“Suspiria” adalah film lawas legendaris yang dirilis pada tahun 1977 dan dibesut oleh sutradara Italia kenamaan bernama Dario Argento. Begitu tahu ini film jadul mungkin merasa ilfil ya. Namun jangan salah, walaupun dibuat 40 tahun yang lalu, film ini benar-benar sebuah pure art form. Tiap detail koreografi dan sinematografinya benar-benar indah. Settingnya benar-benar artistik, dimulai dari bangunan berdesain arsitektur indah di Eropa hingga kamar apartemen dengan background wallpaper yang menarik mata, Dario Argento benar-benar habis-habisan dalam menunjukkan sisi ekspresifnya dalam hal seni di film ini.

Namun yang tak kalah penting, nggak hanya visual film ini enak dilihat, adegan-adegannya juga bisa dibilang sadis dan brutal. Dalam hal kengerian, film ini amat jempolan dan berdarah, amat kontras dengan visualnya yang indah dan artistik.

Cerita “Suspiria” cukup sederhana, yakni seorang penari asal Amerika yang diterima di sebuah akademi tari yang bergengsi di Jerman. Namun setelah kematian brutal para penari di akademi tersebut, ia mulai curiga bahwa tempat itu dikelola oleh sekelompok penyihir yang sadis. Salah satu adegan legendaris yang nggak bisa dilupakan justru pada adegan-adegan awal ketika dua penari dibunuh dengan cara yang amat brutal dan bikin gue mengernyit ngeri.


Yang unik, darah untuk properti di film ini dibuat dengan warna merah cerah, yang walaupun nggak realistis dan kelihatan banget seperti cat, namun menambah sisi artistik dan juga memaksimalkan kengerian di tiap adegannya. Bahkan adegan-adegan simpel ketika para penari ini harus tidur di bangsal dengan dipisahkan kain putih saja sudah membuat ngeri, padahal tidak ada penampakan mengerikan di adegan tersebut.

Tetap saja, gue nggak mau memuji terlalu jauh dan harus mengkritik beberapa hal, seperti ceritanya yang terlalu simpel dan kurang mendalam (semisal mereka adalah penari tapi adegan tarinya malah dikit banget) dan endingnya yang kelewatan kebetulan dan enak banget (masa iya penyihir utamanya gampang banget dikalahin).

Film ini merupakan yang pertama dari trilogi “Three Mothers” dan diikuti oleh “Inferno” dan “Mother of Tears”. Ketiganya menceritakan tiga penyihir utama dimana yang pertama adalah “Mother of Sighs” atau “Suspiria”, hence judulnya. Gue belum liat dua sekuelnya sih, tapi gue tertarik karena katanya nggak kalah brutal.

Berapa nilai yang gue kasih untuk film ini? Cukup 4 CD berdarah.



7. SUSPIRIA (2018)


Mungkin ada readers yang protes, “Lho kok Suspiria ada lagi? Tadi kan udah?” Tenang, tenang, ini adalah remake-nya yang dibuat pada tahun 2019, masih dengan sutradara asal Italia Luca Guadagnino dan artis Dakota Johnson yang mungkin kalian ingat pernah bermain di trilogi “Fifty Shades” yang kontroversial (ya ampun film apa sih itu admin sama sekali nggak pernah denger dan nggak pernah nonton itu film apaan, temanya tentang apaan aja gue nggak paham). Well anyway, apakah remake film ini lebih bagus atau malahan kurang ketimbang pendahulunya? Mari disimak reviewnya.

Nah, film ini menceritakan seorang cewek polos yang bertemu dengan seorang pemuda kaya misterius yang gemar akan BD … eh, sorry salah sinopsis hehehe. Film ini masih memiliki benang merah yang sama dengan film pendahulunya, yakni seorang gadis asal Amrik yang belajar ke sebuah akademi tari di Eropa hanya untuk mengetahui bahwa akademi itu dijalankan oleh sekelompok penyihir yang kejam.

Sama seperti film versi 1977-nya, banyak adegan-adegan kejam dan sadis diperlihatkan di film ini, namun bedanya tentu terletak pada tone-nya. Jika versi aslinya sangatlah artistik, maka film ini justru kebalikannya, amat kelam kayak “Fifty Shades” eh, maksudnya amat kelam dan gelap (banyak adegannya hampir monokromatis alias dominan abu-abu ketimbang versi aslinya yang penuh warna menyolok) karena emang ingin lebih menyoroti kondisi Jerman pasca Perang Dunia II.


Adegan kematiannya juga berbeda dengan versi aslinya. Gue pikir karena ini remake maka adegan kematian karakternya juga akan meniru versi yang asli, namun ternyata tidak. Karakter sang tokoh utama juga diperdalam dengan menjelaskan masa lalunya. Namun, perubahan yang paling gue sukai dari film ini adalah endingnya! Plot twist di endingnya inilah yang benar-benar membedakan film ini dengan film pendahulunya tahun 1977. Endingnya bener-bener all out brutalnya dan lebih seru (serta masuk akal) ketimbang ending film lawasnya.

Akan tetapi, jika memperhatikan sisi artistik yang banyak berkurang di film ini, gue bisa mengatakan film ini nggak lebih bagus ataupun lebih jelek daripada film pertama. Kelebihan film pertama nggak dimunculkan di film ini, namun kekurangan film pertama juga diperbaikin di film ini. Maka dari itu, gue kasih film ini skor yang sama dengan pendahulunya, yakni 4 CD berdarah.


8. VELVET BUZZSAW (2019)


Nah ini dia salah satu film favorit gue di tahun ini dan gue harus katakan, gue menonton film ini awal tahun 2019 dan jujur, itu menjadi pengalaman yang amat menyenangkan dalam membuka tahun tersebut. Film Netflix original ini diperankan oleh Jake Gylenhaal yang biasanya jarang banget berperan di film horor (terakhir adalah Donny Darko jika kalian menghitungnya sebagai film horor). Tentu aktor kelas kakap seperti Jake nggak akan main di film horor sembarangan. Makanya gue sudah menduga bahwa cerita film ini bakalan “berkelas” dan dugaan gue benar.

“Velvet Buzzsaw” menyorot ke dalam dunia seni rupa yang jarang banget diekspose oleh Hollywood. Dalam dunia art ada yang namanya seni instalasi (seperti yang ada di museum di Bandung yang heboh gara-gara plagiasi beberapa waktu lalu) yang lebih mengutamakan pengalaman para penikmatnya ketika menyaksikan atau berinteraksi dengan karya seni tersebut. Karena mementingkan pengalaman tiap orang yang bisa berbeda-beda tergantung pemahaman orang tersebut, maka karya seni instalasi ini nggak mudah dimengerti maknanya.

Karya seni instalasi ini juga bisa laku dijual hingga jutaan dollar karena ada kolektor tajir yang rela mengeluarkan duit bergepok-gepok demi memilikinya (karena karya itu hanya satu di dunia). Karena itu, para seniman yang membuat seni instalasi harus memilih di antara dua jalan: apakah mereka ingin menjadi seniman idealis yang benar-benar murni mengekspresikan hasrat seni mereka, ataukah mereka ingin mengorbankan idealisme itu untuk membuat karya seni yang komersil demi meraup pundi-pundi harta. Ironisnya, ada orang-orang (termasuk para distributor dan orang-orang yang menyebut dirinya”kritikus seni”) ikut bermain di sana dan mengambil keuntungan dari hal itu.

Kenapa gue jelasin panjang lebar hal ini? Karena tema inilah yang akan dibahas di film “Velvet Buzzshaw”. Film ini menceritakan Jake yang bermain sebagai kritikus seni bernama Morf dan kekasihnya, Josephina, seorang artis muda yang tengah struggle. Suatu hari Josephina menemukan karya seni berupa lukisan milik seseorang yang sudah meninggal dan mengakuinya sebagai karyanya. Yang ia tak tahu, lukisan itu ternyata mengandung kutukan yang akan membunuh siapapun melalui “karya-karya seni” di sekitarnya. Jadi, tokoh-tokoh yang ada di film ini nantinya akan dibunuh oleh karya seni apapun yang berada di dekat mereka.


Konsep film ini amat baru dan fresh, belum lagi film ini juga mengulas dunia seni yang jarang banget dibahas di film-film horor lain (mungkin malah ini baru yang pertama). Kita juga bisa membedakan mana tokoh yang idealis dan mana yang licik dan komersil. Tokoh yang idealis biasanya selamat, namun sosok yang mengutamakan ketamakan dan uang nantinya akan menemukan karma yang setimpal. Cara-cara membunuhnya juga tergolong amat kreatif.

Film ini juga agak mencampurkan genre komedi dalam ceritanya, tapi lebih ke komedi satire sih. Semisal salah satu tewas karena sebuah karya seni instalasi, namun nggak ada yang menyadarinya dan menganggap mayatnya sebagai bagian dari karya seni instalasi tersebut. Ada juga adegan salah satu tokoh menyangka plastik berisi sampah sebagai sebuah karya seni instalasi juga.

Tapi gue nggak menyalahkan kalian jika kalian sulit menikmati film ini. Buat yang nggak menggemari seni dan nggak punya background di bidang itu, tentu akan menganggap film ini membosankan dan biasa-biasa aja. Tapi buat yang paham akan makna yang ingin disampaikan film ini, film ini adalah sebuah masterpiece. Apalagi twist di endingnya bener-bener bikin gue geregetan.

Akhir kata, gue kasih nilai sempurna alias 5 CD berdarah buat film ini. Mungkin kalian nggak sependapat, namun film ini layak kalian coba.


4 comments:

  1. Bukan bermaksud nge-judge Bang Dave, tapi film Suspiria yg jadul pasti akan sempurna jika setiap adegan horor atau gorenya tidak ditambahkan musik atau lagu yang keras. karena menurut gw itu justru merusak nuansa horornya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin emang gaya film jadul ala 80an emang gitu sih, jadi nggak bisa disalahin jg hahaha

      Delete
  2. Gw udah nonton ne bang yg The Perfection,, menurut gw yg adegan muntah, serangga, dll it gak terlalu ji2k , yg paling ji2k it adegan lesbian mereka.. Eww bgt!!

    ReplyDelete
  3. Bang bikin review film fifty shades of grey dong kok kayaknya demen banget😂

    ReplyDelete