“CICILIA!” teriak
seorang pria dari luar. Bagus dapat mendengar suara itu didengungkan
melalui pengeras suara, merobek suasana malam tenang yang semula ia
rasakan.
“CICILIA!” teriaknya
lagi.
“Huh, ini berarti
masalah!” Bagus melongok ke luar jendela. Benar rupanya, di luar
seorang pria berteriak menggunakan megaphone.
Di belakangnya, sebuah buldozer terparkir depan apartemen mereka.
“DIMANA KAU? KELUARLAH
CICILIA!”
“Kak Cicilia bukannya
tetangga kita, Kak?” tanya Fira dengan cemas.
“Gawat … pria itu
sepertinya punya dendam pribadi dengan Cicil. Jika ia mendobrak ke
apartemen ini, maka habislah kita.”
“Hentikan!” tiba-tiba
terdengar teriakan seorang gadis dari dalam apartemen mereka. “Apa
yang kau inginkan, Dit?’
“KELUARLAH, CIL! AKU
HANYA INGIN BICARA BAIK-BAIK!”
“Tidak! Sudah kubilang
ribuan kali! Kita sudah putus! Aku nggak mau kenal sama kamu lagi!”
“Baiklah, kalo kamu
bersikeras!” Adit, nama pria itu, segera masuk ke dalam buldozernya
dan menjalankannya, “Sampai ketemu di dalam!”
Mesin mulai dinyalakan dan
dengan pelan, namun pasti, kendaraan raksasa itu mulai menggilas
pagar dan siap meratakan pintu depan mereka.
“Gawat, Kak!” Fira
menoleh ke arah Bagus, “Tidak ada dendam yang lebih besar di dunia
ini ketimbang dendam mantan!”
***
Egi menatap sebentar ke
arah bagasi mobilnya, lalu menoleh kepada kekasihnya.
“Apa kamu yakin, Tar,
kalau kita akan menemukannya di sini?”
“Petunjuk yang dia
berikan memang nggak begitu jelas,” balas Tara, “Namun tak ada
salahnya kita coba.”
Egi lalu mengangkat
trisula dan menggandeng gadis itu melewati jalanan yang sepi.
Walaupun sunyi senyap, namun dampak The Purge terlihat jelas di sini.
Mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan dalam kondisi terbakar.
Barang-barang berserakan di jalanan. Suara sirine dan alarm menyala
dimana-mana. Letusan senjata pun bergema dari berbagai arah.
“Tara, tunggu!
Berhenti!” cegah Egi.
“Ada apa?” gadis itu
menoleh.
“Lihat itu! Ada
pertempuran!”
Egi, benar. Tara melihat
dua sosok berkostum superhero tengah berkelahi.
“HAIL STALIN!” sosok
bertameng bergambar palu arit tengah menyerang sosok lainnya yang
mengenakan jubah dan senjata berupa swastika.
“HAIL HITLER!”
“Bukankah mereka adalah
Captain Communist dan NAZI Man? Sosok superhero dan supervillain di
buku komik propaganda Republik Sosialis Indonesia?”
Memang benar, Indonesia
yang begitu maju semenjak The Purge memiliki universe superhero yang
bahkan lebih terkenal ketimbang Marvel dan DC.
“Kenapa mereka memakai
kostum seperti itu? Konyol sekali?”
“Kurasa mereka berdua
adalah pendukung komunis dan fasisme yang tak sepaham. Apalagi Jerman
dikalahkan Rusia pada Perang Dunia II, jadi ia ingin membalas
dendam.”
“Lihat, ada satu lagi
yang datang!”
Berpenampilan mistikus ala
Doctor Strange, datanglah sosok berkostum putih biru yang menggunakan
kalung berlambang bintang segienam.
“HAIL ELLOHIM!” dia
adalah sosok Master Zion. Ia segera menyerang NAZI Man yang
dianggapnya bertanggung jawab atas Holocaust yang menewaskan kaumnya.
Mereka berdua hanya
menyaksikan pertempuran ketiganya dari jauh.
“Kenapa sih mereka harus
berpenampilan aneh-aneh?”
Egi hanya tertawa, “The
Purge hanya dilakukan setahun sekali. Mereka ingin tampil
habis-habisan, tentu saja dengan menggunakan kostum sekeren mungkin.
Nggak seperti kita yang hanya mengenakan seragam sekolah seperti ini.
Mungkin kita perlu nama julukan buat kita sendiri supaya lebih keren?
“Huh, daripada mikirin
itu, mending kita laksanakan misi kita!” Tara segera mengajak Egi
menggunakan jalan lain.
Sementara itu, gedoran
terdengar dari dalam bagasi mobil mereka yang ditinggalkan begitu
saja di pinggir jalan.
***
“AAAAAAAAAA!!!!” seisi
bus berteriak begitu geng itu menembaki anak-anak sekolah itu.
“DOR DOR DOR DOR!!!”
“Mulia, menunduk!”
Sandi, sang ketua kelas, melihat Mulia, anak jebolan olimpiade fisika
internasional itu, tengah menyusun sesuatu dari dalam tasnya. Ia
mengambil kaleng Pringles dari dalam tasnya, mengisinya dengan
detergen yang baru saja dibeli di Alfamart dekat sekolah. Kemudian,
Mulia berdiri, membuka celananya, dan mengencinginya.
“Mul, lu ngapain?”
teriak Sandi, “Menunduk!”
Namun Mulia mengarahkan
kaleng Pringles itu keluar, menyalakan sumbu yang ia pasang di bagian
tutupnya, dan …
“BLAAAAAR!!!”
Tanpa diduga, kaleng itu
meluncurkan roket yang langsung meledakkan motor-motor gede yang
dikendarai para anggota geng itu. Mereka langsung kocar-kacir
berusaha membubarkan diri.
“Lu … lu barusan
membuat bazooka dari kaleng Pringles, detergen, dan air pipis?”
Sandi menatapnya tak percaya. Ia memang dikenal sebagai siswa cerdas,
namun ia tak menyangka Mulia secerdas itu.
“Tentu saja, amonia
dalam air kencing akan bereaksi dengan senyawa nitrat dalam detergen
menjadi amonium nitrat yang menjadi bahan peledak. Belum lagi kaleng
aluminium memiliki kemampuan konduktivitas thermal yang tinggi!”
Mulia berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti teman-temannya yang
anak IPS.
“Dimana mereka? Gue
nggak melihat mereka lagi?” Chris berusaha mengintip melalui
jendela.
“Gue rasa sudah
aman. Saatnya keluar guys!”
Fajar memberi aba-aba. Sandi segera meraih tangan Lia yang berada
dekat pintu dan membawanya keluar, diikuti Shalsa, Fajar, Chris, dan
Ariel.
Namun begitu Venus dan
rekan-rekan cheerleadersnya hendak keluar, tiba-tiba …
“BRAAAK!” Mulia dan
Chuu yang sudah berada di luar tiba-tiba menutup pintu bus itu dan
mengunci mereka dari luar.
“A … apa yang kalian
lakukan?” jerit Venus dari dalam sambil menggedor-gedor kaca pintu,
“Buka! Cepat!!! Atau gue akan …”
“Lu akan apa?’ tantang
Chuu. Tiba-tiba ia menyalakan korek api dan mulai membakar bus itu.
“Chuu … apa yang lu
lakuin?!” teriak Sandi. Ia berusaha mencegah mereka, namun Chuu dan
Mulia kali ini malah berbalik ke arah mereka.
Chuu mengenakan penutup
matanya, membuatnya makin mirip Misaki Mei.
“Kostum itu …” Sandi
akhirnya mengerti, “Lu memang ingin ikut The Purge …”
Mulia melepas seragamnya
dan menyibak kostum One Punch Man yang ia kenakan di baliknya. Sandi
balik menatapnya.
“Lu juga?”
“TIDAK! TIDAAAAAAK!!!”
teriakan dari dalam bus itu serasa menyayat hati. Sandi dan
kawan-kawannya hanya bisa mengernyit ngeri ketika api itu melalap
habis bus dan membakar Venus dan geng cheerleaders-nya hidup-hidup di
dalamnya. Sandi tak berkutik menyaksikan kematian mereka yang
perlahan dan sangat menyakitkan itu.
“Sudah merupakan aturan
tak tertulis dalam ajang The Purge untuk tampil total dengan kostum
sekeren mungkin.” Chuu menyeringai, sementara Mulia melepaskan
rambut palsunya dan menampakkan kepala botaknya yang bercahaya. Demi
aksinya malam ini, ia sengaja menggunduli kepalanya.
“TERPUJILAH REPUBLIK
SOSIALIS INDONESIA!” Chuu dan Mulia bergandengan tangan,
“TERPUJILAH PARA FOUNDING FATHER KITA!”
“Cepat pergi!” Sandi
memberi aba-aba kepada teman-teman lainnya yang masih tersisa, “Ayo
pergi dari sini!!!”
BERSAMBUNG
Maaf ya jumat kemarin ga sempet update karena lagi mudik dan ga ada wifi. mulai sekarang gue harap bisa rutin dan tepat waktu updatenya
ReplyDeleteGw baru tau air kencing bisa berbahaya
ReplyDelete"Mulia melepaskan rambut palsunya dan menampakkan kepala botaknya yang bercahaya" :v
ReplyDeleteAbsurd sekali nih cerita :v, but i like it.
Apalagi chapter kemarin waktu para alay di bantai(ngakak asw) :]
Gaya bahasanya khas..dave banget
ReplyDeleteHahaa kocak "tidak ada dendam yg lebih besar di dunia ini ketimbang dendam mantan "
ReplyDeleteUpdate dong bang
ReplyDeletemantap bang 👍👍
ReplyDelete