Sunday, October 27, 2019

THE PURGE: MALAM PERTAMA – EPISODE 4



“CICILIA!” teriak seorang pria dari luar. Bagus dapat mendengar suara itu didengungkan melalui pengeras suara, merobek suasana malam tenang yang semula ia rasakan.

“CICILIA!” teriaknya lagi.

Huh, ini berarti masalah!” Bagus melongok ke luar jendela. Benar rupanya, di luar seorang pria berteriak menggunakan megaphone. Di belakangnya, sebuah buldozer terparkir depan apartemen mereka.

“DIMANA KAU? KELUARLAH CICILIA!”

“Kak Cicilia bukannya tetangga kita, Kak?” tanya Fira dengan cemas.

“Gawat … pria itu sepertinya punya dendam pribadi dengan Cicil. Jika ia mendobrak ke apartemen ini, maka habislah kita.”


“Hentikan!” tiba-tiba terdengar teriakan seorang gadis dari dalam apartemen mereka. “Apa yang kau inginkan, Dit?’

“KELUARLAH, CIL! AKU HANYA INGIN BICARA BAIK-BAIK!”

“Tidak! Sudah kubilang ribuan kali! Kita sudah putus! Aku nggak mau kenal sama kamu lagi!”

“Baiklah, kalo kamu bersikeras!” Adit, nama pria itu, segera masuk ke dalam buldozernya dan menjalankannya, “Sampai ketemu di dalam!”

Mesin mulai dinyalakan dan dengan pelan, namun pasti, kendaraan raksasa itu mulai menggilas pagar dan siap meratakan pintu depan mereka.

“Gawat, Kak!” Fira menoleh ke arah Bagus, “Tidak ada dendam yang lebih besar di dunia ini ketimbang dendam mantan!”


***


Egi menatap sebentar ke arah bagasi mobilnya, lalu menoleh kepada kekasihnya.

“Apa kamu yakin, Tar, kalau kita akan menemukannya di sini?”

“Petunjuk yang dia berikan memang nggak begitu jelas,” balas Tara, “Namun tak ada salahnya kita coba.”

Egi lalu mengangkat trisula dan menggandeng gadis itu melewati jalanan yang sepi. Walaupun sunyi senyap, namun dampak The Purge terlihat jelas di sini. Mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan dalam kondisi terbakar. Barang-barang berserakan di jalanan. Suara sirine dan alarm menyala dimana-mana. Letusan senjata pun bergema dari berbagai arah.

“Tara, tunggu! Berhenti!” cegah Egi.

“Ada apa?” gadis itu menoleh.

“Lihat itu! Ada pertempuran!”

Egi, benar. Tara melihat dua sosok berkostum superhero tengah berkelahi.

“HAIL STALIN!” sosok bertameng bergambar palu arit tengah menyerang sosok lainnya yang mengenakan jubah dan senjata berupa swastika.

“HAIL HITLER!”

“Bukankah mereka adalah Captain Communist dan NAZI Man? Sosok superhero dan supervillain di buku komik propaganda Republik Sosialis Indonesia?”

Memang benar, Indonesia yang begitu maju semenjak The Purge memiliki universe superhero yang bahkan lebih terkenal ketimbang Marvel dan DC.

“Kenapa mereka memakai kostum seperti itu? Konyol sekali?”

“Kurasa mereka berdua adalah pendukung komunis dan fasisme yang tak sepaham. Apalagi Jerman dikalahkan Rusia pada Perang Dunia II, jadi ia ingin membalas dendam.”

“Lihat, ada satu lagi yang datang!”

Berpenampilan mistikus ala Doctor Strange, datanglah sosok berkostum putih biru yang menggunakan kalung berlambang bintang segienam.

“HAIL ELLOHIM!” dia adalah sosok Master Zion. Ia segera menyerang NAZI Man yang dianggapnya bertanggung jawab atas Holocaust yang menewaskan kaumnya.

Mereka berdua hanya menyaksikan pertempuran ketiganya dari jauh.

“Kenapa sih mereka harus berpenampilan aneh-aneh?”

Egi hanya tertawa, “The Purge hanya dilakukan setahun sekali. Mereka ingin tampil habis-habisan, tentu saja dengan menggunakan kostum sekeren mungkin. Nggak seperti kita yang hanya mengenakan seragam sekolah seperti ini. Mungkin kita perlu nama julukan buat kita sendiri supaya lebih keren?

“Huh, daripada mikirin itu, mending kita laksanakan misi kita!” Tara segera mengajak Egi menggunakan jalan lain.

Sementara itu, gedoran terdengar dari dalam bagasi mobil mereka yang ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan.


***


“AAAAAAAAAA!!!!” seisi bus berteriak begitu geng itu menembaki anak-anak sekolah itu.

“DOR DOR DOR DOR!!!”

“Mulia, menunduk!” Sandi, sang ketua kelas, melihat Mulia, anak jebolan olimpiade fisika internasional itu, tengah menyusun sesuatu dari dalam tasnya. Ia mengambil kaleng Pringles dari dalam tasnya, mengisinya dengan detergen yang baru saja dibeli di Alfamart dekat sekolah. Kemudian, Mulia berdiri, membuka celananya, dan mengencinginya.

“Mul, lu ngapain?” teriak Sandi, “Menunduk!”

Namun Mulia mengarahkan kaleng Pringles itu keluar, menyalakan sumbu yang ia pasang di bagian tutupnya, dan …

“BLAAAAAR!!!”

Tanpa diduga, kaleng itu meluncurkan roket yang langsung meledakkan motor-motor gede yang dikendarai para anggota geng itu. Mereka langsung kocar-kacir berusaha membubarkan diri.

“Lu … lu barusan membuat bazooka dari kaleng Pringles, detergen, dan air pipis?” Sandi menatapnya tak percaya. Ia memang dikenal sebagai siswa cerdas, namun ia tak menyangka Mulia secerdas itu.

“Tentu saja, amonia dalam air kencing akan bereaksi dengan senyawa nitrat dalam detergen menjadi amonium nitrat yang menjadi bahan peledak. Belum lagi kaleng aluminium memiliki kemampuan konduktivitas thermal yang tinggi!” Mulia berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti teman-temannya yang anak IPS.

“Dimana mereka? Gue nggak melihat mereka lagi?” Chris berusaha mengintip melalui jendela.

Gue rasa sudah aman. Saatnya keluar guys!” Fajar memberi aba-aba. Sandi segera meraih tangan Lia yang berada dekat pintu dan membawanya keluar, diikuti Shalsa, Fajar, Chris, dan Ariel.

Namun begitu Venus dan rekan-rekan cheerleadersnya hendak keluar, tiba-tiba …

“BRAAAK!” Mulia dan Chuu yang sudah berada di luar tiba-tiba menutup pintu bus itu dan mengunci mereka dari luar.

“A … apa yang kalian lakukan?” jerit Venus dari dalam sambil menggedor-gedor kaca pintu, “Buka! Cepat!!! Atau gue akan …”

“Lu akan apa?’ tantang Chuu. Tiba-tiba ia menyalakan korek api dan mulai membakar bus itu.

“Chuu … apa yang lu lakuin?!” teriak Sandi. Ia berusaha mencegah mereka, namun Chuu dan Mulia kali ini malah berbalik ke arah mereka.

Chuu mengenakan penutup matanya, membuatnya makin mirip Misaki Mei.

“Kostum itu …” Sandi akhirnya mengerti, “Lu memang ingin ikut The Purge …”

Mulia melepas seragamnya dan menyibak kostum One Punch Man yang ia kenakan di baliknya. Sandi balik menatapnya.

“Lu juga?”

“TIDAK! TIDAAAAAAK!!!” teriakan dari dalam bus itu serasa menyayat hati. Sandi dan kawan-kawannya hanya bisa mengernyit ngeri ketika api itu melalap habis bus dan membakar Venus dan geng cheerleaders-nya hidup-hidup di dalamnya. Sandi tak berkutik menyaksikan kematian mereka yang perlahan dan sangat menyakitkan itu.

“Sudah merupakan aturan tak tertulis dalam ajang The Purge untuk tampil total dengan kostum sekeren mungkin.” Chuu menyeringai, sementara Mulia melepaskan rambut palsunya dan menampakkan kepala botaknya yang bercahaya. Demi aksinya malam ini, ia sengaja menggunduli kepalanya.

“TERPUJILAH REPUBLIK SOSIALIS INDONESIA!” Chuu dan Mulia bergandengan tangan, “TERPUJILAH PARA FOUNDING FATHER KITA!”

“Cepat pergi!” Sandi memberi aba-aba kepada teman-teman lainnya yang masih tersisa, “Ayo pergi dari sini!!!”



BERSAMBUNG






7 comments:

  1. Maaf ya jumat kemarin ga sempet update karena lagi mudik dan ga ada wifi. mulai sekarang gue harap bisa rutin dan tepat waktu updatenya

    ReplyDelete
  2. Gw baru tau air kencing bisa berbahaya

    ReplyDelete
  3. "Mulia melepaskan rambut palsunya dan menampakkan kepala botaknya yang bercahaya" :v

    Absurd sekali nih cerita :v, but i like it.
    Apalagi chapter kemarin waktu para alay di bantai(ngakak asw) :]

    ReplyDelete
  4. Gaya bahasanya khas..dave banget

    ReplyDelete
  5. Hahaa kocak "tidak ada dendam yg lebih besar di dunia ini ketimbang dendam mantan "

    ReplyDelete