Siaran televisi
mulai menyiarkan wajah Yuli Frame, seorang penyiar kenamaan, ditemani
rekannya, Darmas Sulaiman, seorang mantan artis yang kini berprofesi
sebagai anchorman. Mereka menyiarkan "Liputan 666" acara berita yang senantiasa disiarkan setiap tahun saat The Purge.
“Selamat sore, Pemirsa!
Dalam 5 menit, The Purge akan dimulai. Seperti biasa, kami akan
menjelaskan asal mula tradisi tahunan ini. Silahkan, Saudara Darmas!”
“Terima kasih, Rekan
Yuli!” Darmas yang mengenakan jas berdasi kemudian menatap ke arah
para pirsawannya, “The Purge pertama kali dimulai 15 tahun lalu.
Ketika itu, Indonesia diguncang oleh bencana berskala maha-dahsyat
yang disebut sebagai ‘Pengkhianatan Tuhan’ atau 'God's Betrayal'.
Kala itu, jutaan penduduk Indonesia tewas dan tak terbilang berapa
ratus ribu lainnya yang cacat seumur hidup akibat kejadian itu.
Seluruh Indonesia mengalami duka mendalam karena banyak yang
kehilangan anggota keluarga ataupun orang dicintai saat itu.”
“Penderitaan yang
dialami rakyat kala itu luar biasa besarnya, baik fisik maupun psikis
hingga semenjak itu, masyarakat tak percaya lagi pada Tuhan. Jika
Tuhan memang ada, rasanya sulit terbayangkan jika Ia sengaja
menyengsarakan umat-Nya dengan membiarkan bencana sebesar ini
terjadi. Tak sedikit pula yang menyalahkan Tuhan atas kejadian itu
dan menganggap Tuhan telah mengabaikan dan meninggalkan mereka.
Semenjak saat itu, atheisme merebak.”
“Semua catatan mengenai
apa yang terjadi pada saat 'God's Betrayal' itu telah hilang. Tak ada
yang ingat apa sebenarnya katastrofi mengerikan itu. Kita hanya bisa
menebak, mungkinkah gempa bumi, mega-tsunami, ataukah ledakan bom
nuklir. Namun yang jelas, peristiwa itu merevolusi negara kita.
Pemerintah sosialis menumbangkan golongan religius yang menguasai
pemerintahan kala itu dan mulai memimpin negeri, berusaha
membangkitkan diri dari keterpurukan. Namun hal itu sangat sulit
mengingat tingkat kriminalitas yang amat tinggi. Kehidupan masyarakat
kita juga bisa dibilang kembali primitif semenjak bencana dahsyat itu
menghancurkan seluruh infrastruktur kita.”
“Hingga para Founding
Father kita memiliki ide brilian untuk melangsungkan The Purge, satu
malam dimana selama 12 jam, semua tindak kriminal diizinkan. Hal
serupa telah sukses dilaksanakan di Amerika Serikat dan sejak saat
itu telah diikuti dan diterapkan di berbagai negara di Eropa, Asia,
dan Australia. Semenjak The Purge dimulai, tingkat kriminalitas
menurun drastis karena semua orang bersabar menanti hingga malam
dimana semua tindak kejahatan dilegalkan. Hasilnya, perekonomian
meningkat dan kesejahteraan pun meluas. Tingkat populasi pun terus
terjaga berkat The Purge ini sehingga tak pernah lagi terjadi ledakan
populasi seperti yang dulu terjadi di Indonesia. Survival of the
fittest: pada malam ini semua yang lemah akan tersisih sehingga
generasi yang paling kuat untuk membangun negeri-lah yang bisa
bertahan hidup!”
“Bagi yang ingin
berpartisipasi di ajang The Purge tahun ini, kami perlu ingatkan
kembali beberapa peraturan penting yang harus dipatuhi.”
“Pertama The Purge akan dimulai jam 6 sore ini dan berakhir jam 6 pagi keesokan harinya. Di saat itu, semua tindak kejahatan dilegalkan.”
“Segala bentuk kejahatan yang dilakukan di luar jam The Purge, baik sebelum dan sesudah, akan ditindak dengan hukuman mati.”
“Para Founding Fathers, presiden, para menteri, dan pejabat penting lainnya dilarang untuk menjadi sasaran tindak kriminal.”
“Selama The Purge berlangsung, semua rumah sakit, pemadam kebakaran, dan kepolisian tidak akan berfungsi.”
“Dilarang menggunakan bom dan senjata pemusnah massal lainnya.”
“Perlu diingat bahwa
tindakan melanggar aturan di atas akan dihukum dengan keras.”
Jam menunjukkan pukul 6
tepat. Suara sirine yang amat keras membahana.
“Selamat menikmati The
Purge!” Yuli tersenyum ke arah pemirsanya.
“Terpujilah
Republik Sosialis Indonesia!” kedua news
anchor itu mengakhiri siaran mereka
bersama-sama sembari bergandengan tangan. “Terpujilah para Founding
Father kita!”
***
Suara sirine itu
membangunkan Sandi. Ia bak terbangun dari mimpi buruk dan segera
tersadar bahwa Purge telah dimulai.
“Sial! Sirine itu!”
dia bergegas membangunkan Fajar yang berada terdekat dengannya. “Hei,
bangun!”
Teman-temannya yang lain
mulai terbangun dengan raut wajah kebingungan.
“Su … sudah gelap?”
teriak Shalsa dengan histeris, “Ini … ini artinya The Purge sudah
dimulai?!”
Sandi segera teringat pada
Aulia yang masih tergeletak di depan. Ia segera menghampirinya.
“Hei, lu nggak apa-apa?”
Aulia mulai membuka mata.
“Di … dimana Pak
Madjid?” tanya Aulia, “Gu … gue tadi melihat dia mengenakan
masker gas …”
“Sial!” murka Sandi,
“Rupanya ia menjebak kita di sini!”
“Hei, itu dia!” tunjuk
Chris keluar jendela.
Benar, terlihat Pak Madjid
berdiri di luar bus mereka. Tak lama, segerombolan geng motor
berpenampilan sangar menghampirinya.
Mereka memakai topeng
binatang, dipimpin oleh pria bertopeng kambing dengan dua tanduk
runcingnya yang mencuat.
“A … apa Purge benar
sudah dimulai?” tanya Ariel dengan ketakutan, “Ga … gawat ! ki
… kita terjebak di sini. Bagaimana nasib kita nanti?”
Sandi segera menoleh ke
luar jendela dan menyaksikan pria bertanduk itu menyerahkan segepok
uang kepada Pak Madjid.
“Keparat! Dia menjual
kita!” bisik Sandi geram.
***
Raga hanya bisa menghela
napas ketika sirine itu mulai berbunyi.
“The Purge telah
dimulai.” bisiknya. Setelah melantunkan puji-pujian kepada Republik
Sosialis Indonesia dan para Founding Fathers-nya, mereka melepaskan gandengan tangan mereka, lalu mulai
mengenakan helm dan rompi anti peluru mereka. Tak lupa, mereka
menyiapkan persenjataan berat untuk ditenteng di dalam tank lapis
baja yang mereka naiki.
Mereka adalah polisi,
namun mereka hadir bukan untuk membela yang lemah atau memberantas
kejahatan pada saat pelaksanaan The Purge. Mereka hanya bertugas agar
peraturan dalam The Purge tetap dipatuhi, antara lain melindungi
orang-orang penting dalam pemerintahan serta mencegah penggunaan
senjata pemusnah massal selama The Purge berlangsung. Secara resmi,
mereka tergabung dalam tim elite yang disebut LEGION.
“Ini adalah malam segala
malam, Raga.” kakaknya yang juga rekan kerjanya, Bewa menghirup
udara malam dalam-dalam, “Tidakkah kau bersemangat?”
Raga tak menjawab dan
hanya menatap kakaknya dengan jijik. Sepanjang hidupnya, ia tak
pernah setuju dengan pelaksanaan The Purge ini dan tak bisa mengerti,
mengapa kakaknya malah memuja hari itu.
“Jika kau bisa ikut The
Purge, apa yang akan kau lakukan?” tanya Bewa kembali.
“Persetan dengan The
Purge! Seharusnya tugas kita adalah melindungi warga tak bersalah,
namun selama The Purge, justru mereka-lah yang jadi korbannya!”
“Jika kau memang tak
setuju dengan The Purge, paling tidak lihat sisi baiknya. Malam ini
kita akan bertugas menjaga The Purge berlangsung tetap sesuai aturan.
Artinya tak ada bom dan senjata pemusnah massal, sehingga tak banyak
orang mati sia-sia.”
“Bukan itu yang
kuinginkan!” Raga mengokang senjatanya, “Yang kuinginkan adalah
semua orang merasa aman saat The Purge berlangsung dan tak ada orang
tak bersalah yang menjadi korban!”
“Kita sudah bekerja
selama bertahun-tahun mengiringi The Purge ini dan kau sendiri pasti
sudah tahu bagaimana cara kerjanya. Yang mati saat The Purge
kebanyakan adalah orang-orang yang berhak mendapatkannya.”
Raga terdiam. Memang
benar. The Purge juga menjadi ajang “vigilante” yakni aksi
membalas dendam pada orang-orang yang pernah menyakiti mereka. Raga
sendiri tak memungkiri, lebih banyak penjahat yang mendapatkan
hukuman setimpal pada saat The Purge, bahkan lebih banyak ketimbang
yang dapat mereka tangani.
“Omong-omong dimana
Uci?” Raga berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia tahu Bewa yang
keras kepala akan terus mendukung The Purge, apapun yang ia katakan.
“Amelia Uci, polwan
beprestasi kita?” Bewa menyeringai, “Ada yang harus ia lakukan.
Karena itu dia tak ikut malam ini.”
“Apa? Apa tugas yang
lebih penting selain …”
“Tim Legion!” komandan
mereka berseru, “Kita mendapat tugas pertama kita malam ini. Ayo
bersiap!”
Bewa hanya berkedip ke
arah adiknya, memberinya semangat.
“Ayo kita mulai!”
***
“Malam ini adalah malam
segala malam …” para anggota geng bertopeng itu membentuk
lingkaran dan saling bergandengan tangan, memulai ritual The
Purge tahunan mereka.
“Halo! Kantor polisi!
Halo!” Aulia berusaha berbicara di telepon, “Tolong … tolong
kami! Kami diculik dan dipaksa berpartisipasi dengan The Purge. Kami
ada di bus sekolah … Halo? Halo?”
Ini sudah kelima kalinya
Aulia mencoba meminta bantuan, namun tak ada yang menjawab.
“Percuma. Mereka takkan
menjawab panggilan kita.” celetuk Mulia. “Lu tahu sendiri kan
aturan The Purge? Semua polisi dan aparat keamanan lainnya takkan
berfungsi selama The Purge berlangsung. Kita sendirian di sini.”
“Sial! Koneksinya malah
putus!” Aulia menaruh telepon genggamnya dengan geram, “Bagaimana
kita bisa lolos dari sini?”
“Ki … kita semua akan
mati di sini …” Shalsa terisak.
“Jangan bilang begitu,
Shal!” pacarnya, Fajar, berusaha menenangkannya, “Ki … kita
pasti akan bisa melewatinya dengan selamat.”
“Selamat? Heran ya, cowok tuh bisanya cuman bohongin cewek aja!” seru Venus dengan kesal, “Lu lihat sendiri
senjata-senjata mereka. Kita semua pasti bakalan mati di sini!”
Mendengarnya, tangisan
Shalsa semakin kencang.
“Bisa nggak sih lu diam!
Lu sama sekali nggak membantu!” marah Sandi pada Venus. “Lu cuma
membuat kami tambah ketakutan!”
Venus-pun terdiam.
Sandi kembali menatap ke
arah para anggota geng itu.
“Terpujilah Republik
Sosialis Indonesia! Terpujilah para Founding Father kita!” Geng motor itu
melepaskan gandengan tangan mereka dan mulai mengarahkan
senjata-senjata api mereka ke arah bus itu.
BERSAMBUNG
Keren ini kalau dibuat versi film. Bakal kontroversial kayaknya
ReplyDeleteMonggo dilanjut
ReplyDelete.
.
.
.
Lah ada petil arit😁
Dibukuin aja deh bang dave..bagus ini..konsepnya beda👌
ReplyDeleteBaru liat kan the purge dg konsep alay 😂😂😂
DeletePenggemar the purge dong :)) uda nnton yg the purge, the purge anarchy, sm election year
ReplyDelete